Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
Ada
beberapa hal, yang menarik untuk dicermati dengan “hadirnya” Lady Gaga di
Indonesia, yaitu: pertama, bahwa
Indonesia telah masuk dalam garis internasional untuk mempopulerkan musik, baik
dalam kebutuhan promosi musisi lokal yang go
international, atau pun menerima kedatangan promosi musik dari luar.
Tentunya, hal ini akan semakin memperluas jaringan kerja musisi di Indonesia,
memajukan industri musik, termasuk didalamnya adalah terdapat kepentingan
diplomasi antarnegara. Hal kedua, akan
selalu terdapat perbedaan dalam kemasan musik dan performance dari setiap musisi dan artis, yang sebetulnya
memberikan celah bagi musisi lain, untuk dapat memberikan tampilan berbeda,
sehingga tidak saja persoalan kualitas, kreativitas, tentu saja akan terkait
dengan hal ekonomisasi dalam bidang musik. Perkara ekonomi, walaupun bukan
elemen utama dalam berkarya dan mencipta musik, tidak dapat terpisahkan.
Popularitas seseorang tentunya akan memberikan kesempatan bagi orang lain,
untuk dapat dijadikan sebagai tolok ukur atas kualitas musik, secara terseleksi
para penggemar akan terbentuk dengan sendirinya. Kepentingan industri musik,
memang tidak dapat dipisahkan dari sistem-sistem yang sudah mapan dan berjalan,
sehingga ketika terjadinya suatu benturan, merupakan hal yang wajar, selama
benturan ini tidak bersifat pemaksaan. Sistem budaya Indonesia, bahkan pada
setiap daerah, adat istiadat, agama dan kepercayaan, ataupun suatu negara lain,
ketika bertemu pada satu lokasi, tidak dapat dipungkiri akan terjadi
“perdebatan”. Menjaga eksistensi dan idealisme bagi seorang musisi, terkadang
harus dikompromikan dengan sistem-sistem yang sebetulnya bukan memaksa untuk
memperbarui, tetapi bagaimana antara sistem ini dengan idealisme musisi dapat
bersinergi dengan baik.
Hal
ketiga, persoalan moral dan etika,
tidak dapat dengan sendirinya dipengaruhi oleh satu faktor saja, melainkan
terdiri dari berbagai macam persoalan, setidaknya termasuk didalamnya adalah
budaya, latar belakang pendidikan dan kepentingan, gejala sosial dan politik
tertentu, bahkan terkait pula dengan kepentingan ekonomi. Lady Gaga, bukanlah
satu-satunya “sumber” kerusuhan moral dan etika, jika nantinya dilihat sebagai
dampak atas terjadinya komplikasi pada persoalan sosial, budaya, dan agama di
wilayah Indonesia. Penampilan seronok ala Lady Gaga, adalah salah satu dari
sekian banyak sumber persoalan yang muncul pada komunitas sosial masyarakat,
dan tidak dapat dikatakan sebagai bahan tambahan untuk memperparah. Tentu
tidaklah patut, jika kemudian keseronokan ala Lady Gaga, dipertautkan dengan
seronoknya tampilan beberapa musisi Indonesia. Latar belakang pembentuk gaya
masing-masing musisi, memiliki sumber referensi yang berbeda. Jika memang suatu
sistem (baik itu budaya, kode etik sosial, dan agama) memandang Lady Gaga
memiliki keseronokan yang luar biasa, seharusnya sistem ini berkerja secara
menyeluruh dalam melakukan penyaringan dan sensor terhadap musisi-musisi
lainnya. Terlepas keberpihakan atau tidak media massa didalam proses sensor ini,
masyarakat harus kritis dan pintar dalam mengendalikan setiap hiburan yang
disajikan oleh media. Termasuk untuk mengkritisi tayangan-tayangan yang
mengarah dan berkaitan pada dampak sosial, moral, serta etika.
Kepanikan-kepanikan
yang dibicarakan oleh Yasraf Amir Piliang pada pengantar Dunia yang Berlari: Mencari Tuhan-tuhan Digital, merupakan realita
yang terjadi pada masyarakat sosial di Indonesia. Misalnya, kepanikan konsumsi,
ketika perilaku mengkonsumsi ini berlaku secara berlebihan dan tidak diketahui
fungsinya. Atau panik tontonan, ketika manusia mempertontonkan apa saja tanpa
ada spiritnya. Demikian juga, ketika terjadi kepanikan seksualitas yang
mengekspos setiap bagian tubuh yang tidak diiringi oleh makna-makna.[1]
Kepentingan media dan kelompok masyarakat tertentu atas tubuh Lady Gaga, adalah
bagian dari kepanikan dari sekian banyak kepanikan yang terjadi dalam
masyarakat. Tubuh Lady Gaga merupakan penanda atas terjadinya beberapa reaksi
dan gejolak sosial pada masyarakat Indonesia. Kekhawatiran pada dampak yang
diakibatkan karena popularitas tubuh Lady Gaga terlalu berlebihan. Justru, hal
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemampuan masyarakat untuk mengatur
dan mengelola perilaku mengkonsumsi secara tepat. Tidak terkecuali atas
pilihan-pilihan yang disajikan baik oleh media penyedia jasa hiburan, media
massa, atau pun kelompok-kelompok lain yang berujung pada benturan budaya
lokal. Spirit tontonan dan perilaku menonton dengan benar adalah persoalan yang
tidak dengan sendirinya terbentuk, tanpa adanya motivasi, melainkan saling
berhubungan dengan kemapanan budaya, atau bahkan kemapanan dalam hal moral dan
etika penonton itu sendiri.
Tidak
dapat juga disalahkan, ketika ada arus keras yang menentang kedatangan Lady
Gaga di Indonesia, apalagi saat dipertautkan dengan satu sistem yang memiliki
landasan pikir tertentu, dan bertolak belakang dengan gaya tampilan Lady Gaga. Demikian
pula sebaliknya, bahwa sistem ini tidak dapat memaksa orang lain untuk
mengikuti pola pikirnya. Ketika kedua landasan pikir berbeda dan tetap bertahan
pada idealisme masing-masing, maka jalan sebaiknya yang ditempuh bukan pada tawar
menawar idealisme. Karena pada saat terjadi musyawarah untuk mencapai mufakat
pada idealisme, yang terjadi adalah saling memaksakan kepentingan.
Kerumitan
sosial yang muncul tentang Lady Gaga adalah ketika terjadinya usaha penyensoran
oleh beberapa kelompok, dengan dasar keyakinan tertentu. Seperti dibahas oleh
Marshall A. Clark untuk pengantar dalam Budaya
Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia
Kontemporer, bahwa usaha penyensoran tontonan di Indonesia (tidak
terkecuali gaya Lady Gaga) lebih kuat dorongannya yang bersumber dari
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Disebutkan oleh Clark, kebebasan
berekspresi tidak akan mampu diselamatkan oleh pasar, karena ditakutkan
mengundang kelompok religius radikal untuk mengamuk, dan berdampak pada sisi
ekonomi. Digambarkan, tidak akan ada perusahaan sinema (hiburan) yang mau
mengambil reksiko diamuk massa akibat penampilan seorang artis atau pun musisi
tertentu, tidak terkecuali Lady Gaga. Jelas sekali, bahwa kelompok-kelompok
penekan ditingkat lokal (memanfaatkan sentimen keagamaan) terlihat jauh lebih
kuat daripada aparat dan lembaga resmi negara,[2] termasuk
mementahkan peran Undang-Undang tentang Pornografi. Sepertinya, tarik ulur dan
penyensoran konser Lady Gaga di Indonesia, lebih cenderung pada politisasi
kepentingan kelompok-kelompok. Seharusnya, usaha penyensoran ini berlaku pada
penampilan-penampilan musisi lain, termasuk menyeluruh pada setiap bagian (isi
dan makna) yang disajikan pada masyarakat.
Komentar
Posting Komentar