denijusmani@gmail.com
Naskah berikut ini, merupakan Kata Pengantar dan Ringkasan Pembicaraan pada Teori dan Praktek Hasrat-Hasrat Sosial. Deni S. Jusmani, 14 x 21 cm, bookpaper, 249h. Rp. 45.000+freeOngkir.
PRAKATA:
Cara Membaca Hasrat Sosial
Nama-nama seniman berikut ini, sangat penting untuk dihadirkan dalam naskah, yaitu: Aan Gunawan, Ahmad Syahbandi, Dadang Imawan, Dedy Sufriadi, Dicky Firmansyah, Edi Maesar, Eduard (Edopop), Komroden Haro, M. Alimin SW, M. Fadhil Abdi, M. Lugas Syllabus, Neni Maria Ningsih, Nurmili Sani, Piko Sugianto, Riduan, Robi Fathoni, Ronald Apriyan, Syahrizal Pahlevi, Suparyanto, Uswarman, dan Yarno. Kenapa? Karena para seniman memiliki peran vital dalam proses akumulasi gagasan untuk menulis naskah Hasrat Sosial, melalui pembicaraan bermakna, obrolan ringan, dan diskusi santai, ditemani secangkir kopi atau teh, lengkap dengan cemilan ringan. Terima kasih secara khusus juga disampaikan kepada M. Fadhil Abdi, atas sumbangan desain sampul buku ini. Tidak terkecuali, kepada seluruh perupa yang terlibat, terima kasih atas bantuan biaya cetak dan penerbitan buku.
Sumber ide penulisan naskah Hasrat Sosial didapatkan setelah berinteraksi sosial dengan para seniman. Selama lebih kurang dua tahun, selain obrolan dan diskusi, pengamatan dalam paradigma kajian budaya dilakukan kepada kehidupan personal para seniman, untuk mengumpulkan dan merangkai menjadi teks-teks lengkap, sebagai sebuah naskah buku. Tulisan yang disajikan ini, dengan hasrat yang menggebu-gebu, menampilkan hasrat-hasrat sosial yang mengiringi kehidupan dan aktivitas sosial dari para seniman, terkorelasi erat kepada setiap karya seni yang diciptakan. Atas interaksi sosial dengan para senimanlah, sebagian teks dengan sengaja menghadirkan beberapa istilah dan kasus yang erat dengan keseharian para seniman.
Penulisan naskah Hasrat Sosial ini, sesungguhnya tidaklah mudah. Harus berdarah-darah. Setiap obrolan atau diskusi yang terjadi, rasanya belum dapat dengan tuntas dibahas, dalam sudut pandang tertentu. Apalagi, dengan kondisi dan upaya pembahasan yang dilakukan betul-betul terlepas dari senda gurau dalam interaksi kepada para seniman tersebut. Berulangkali, obrolan kecil yang terjadi sepanjang tahun 2013-2014, harus ditimpa dengan kutipan-kutipan langsung atau tidak langsung dari beberapa sumber dan tokoh lain, dalam upaya meretorika gagasan yang muncul dan terpicu berdasarkan hasil obrolan bersama para seniman. Ya, sesungguhnya sangat sulit untuk menenggelamkan imajinasi kajian budaya dalam upaya berinteraksi dengan kajian seni. Bahkan, sampai diselesaikan naskah menjadi naskah dan informasi kajian budaya, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus dilengkapi. Sungguh, setiap naskah dihadirkan dengan meledak-ledak dan terkesan liar, tetapi percayalah, bahwa setiap pembicaraan dalam tulisan-tulisan dalam naskah ini saling terkait dan berbenang merah.
Pada hasrat pembuka, pembicaraan melibatkan emosional estetika dan pengamatan tentang seni, sebagai pijakan dasar untuk membicarakan sebuah karya seni. Alat-alat semacam ilmu estetika, sangat terbatas dalam usaha menguraikan sebuah karya seni yang penuh dengan misteri, gagasan, dan pertanyaan, yang dialihkan menjadi bahasa verbal atau tulisan, sehingga dapat dinikmati oleh orang awam. Beberapa kurator seni, akan lebih beretorika dengan bahasa yang terkadang njlimet, seperti menghadirkan teks diatas teks, memperluas misteri diatas setiap karya seni. Wajar, toh, karya seni sendiri merupakan pengalaman batin dari pekerja seni, yang memang cukup berhenti sampai proses menikmati saja, tidak usah diilmiah-ilmiahkan. Toh, ini bentuk budaya yang senantiasa berdinamika.
Rasanya, belum pudar ingatan tentang obrolan menjelang siang yang ditemani secangkir kopi dan berbatang-batang rokok. Rokok dan kopi memiliki peran krusial bagi kehidupan masyarakat, khususnya para pekerja seni yang senantiasa akrab dalam proses kontemplasi. Setiap tegukan kopi dan hisapan rokok, akan memberikan pencerahan dan perluasan nalar dalam menciptakan karya seni. Terlepas atas dampak negatif dari rokok dan kopi, terdapat sisi positif yang tidak dapat dianggap remeh keberadaannya bagi pertumbuhan ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat tertentu. Rokok, bahkan telah menjadi dan dibesarkan bersama-sama dengan budaya tradisi pada masyarakat tradisional. Setidaknya, pemerintah telah berusahan menekan laju pertumbuhan rokok, walaupun pada sisi lain masih terjebak dalam persoalan dilematis, bahwa rokok memberikan sumbangan besar bagi negara, dunia pendidikan, dan perekonomian rakyat. Membicarakan rokok siang itu, secara langsung terkoneksi dengan berbagai macam kebijakan pemerintah, terhubung dengan gaya konsumerisme, dan termasuklah iklan. Rokok salah satu produk budaya yang memiliki dan saling berkorelasi dengan iklan. Iklan digunakan untuk membentuk persepsi masyarakat, termasuk membangun opini baru, bagi perokok baru.
Pada lain kesempatan, beberapa seniman mengajak berkelakar ala Palembang, baik dengan cara konvensional maupun melalui media sosial, menghasilkan naskah yang berarti. Media sosial menjadi sarana penting bagi interaksi sosial dan wadah komunikasi dengan berbagai macam fitur kecanggihan, sehingga ruang virtual dan digital menjadi bentuk kebudayaan materi yang baru. Pada ranah media sosial pula, dapat dibangun persepsi-persepsi masyarakat tentang kebudayaan yang di Indonesia, baik melalui sarana internet, ataupun menggunakan media film. Perdebatan dan kontroversi film-film di Indonesia, merupakan obrolan yang menyenangkan, ditambahkan pula atas isu-isu erotik dalam pengawasan undang-undang pornografi, membuat percakapan semakin liar untuk merambah alam imajinasi dan menginterpretasi gagasan pikir para sutradara, cerita film, termasuk elemen masyarakat yang terlibat pada satu jenis film tertentu. Obrolan film ini masuk pada tahap sejarah, kondisi film, sampai dekade-dekade menjemukan gagasan cipta para sutradara, tidak terkecuali percakapan tentang impor dan rasa-rasa bintang film asing di Indonesia.
Percakapan tentang tubuh sangat rentan dengan wilayah eksplorasi dan eksploitasi, apalagi tubuh ini menyebut jenis kelamin perempuan. Tubuh yang mendua, tidak lagi dapat dipahami sebagai seonggok daging mati, tetapi telah ada label-label dan tanda sosial diatasnya. Tubuh tidak terbatas pada metafora, tetapi merepresentasikan kekuasaan, politik, dan ideologi-ideologi. Pantaslah, pada selanjutnya tubuh menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Kemasan tubuh sangat ditentukan oleh lingkungan sosial. Pencitraan yang baik akan mampu mendongkrak nilai jual tubuh pada konteks sosial budaya, merupakan awal masuknya proses eksplorasi dan eksploitasi tubuh berdasarkan standar tertentu, dimunculkan pada lomba-lomba ketubuhan. Hasrat untuk mendapatkan status sosial pada kehidupan masyarakat sosial, seringkali menggiring tubuh-tubuh direlakan untuk dieksploitasi dan dilombakan. Standarisasi tubuh, bermuara pada tubuh-tubuh tokoh publik yang dianggap sempurna, diidolakan, dan mencapai nilai-nilai sosial tinggi, sehingga membuka ruang peniruan untuk menghasilkan standar nilai serupa, dengan cara yang paling menyakitkan sekalipun. Sekali lagi, iklan memberikan khayalan yang tinggi tentang tubuh sempurna menurut standar pasar dan masyarakat sosial.
Identitaslah perkara rumit dalam proses pencarian jati diri, baik untuk personal, maupun bagi sebuah komunitas. Dialog yang dilakukan merupakan upaya-upaya untuk mempertanyakan identitas personal dan komunitas, pada kondisi masyarakat sosial. Pada beberapa kasus, identitas dapat dimusyawarahkan, sebagai bentuk dinamika budaya, untuk tujuan-tujuan yang disepakati bersama. Nama dan identitas sangat penting dalam konteks masyarakat sosial, selain sebagai tanda sosial, juga penanda atas adanya korelasi dengan beberapa bidang lain. Nama adalah menyangkut identitas yang menyebut tentang status sosial, baik kebesaran seorang seniman, pekerja seni, artis, ulama, atau penulis, yang didalamnya telah mendapatkan “sertifikat” dan kepercayaan dari sekelompok masyarakat. Tidak jarang, nama dan identitas sosial masuk dalam ranah hukum, karena diperebutkan oleh dua orang atau sebuah komunitas dengan komunitas lainnya. Identitas, bahkan dapat menunjuk tentang warna dan karakter sebuah media, televisi misalnya. Pada beberapa televisi di Indonesia, memiliki karakter tayangan acara tertentu, sehingga dengan sendirinya mengelompokkan jenis penonton tertentu pula. Tahun tertentu, juga berbicara identitas televisi, demikian pula dampak negatif dan positif yang diterima oleh masyarakat penonton. Terlepas dari hasil, televisi memberikan ruang partisipasi dan pengalaman yang menyenangkan bagi penonton, menjadi sarana penghibur dan edukasi bagi penonton yang kritis.
Percakapan pada seorang seniman, menggugat dan mempertanyakan sebuah ruang, baik ruang imajiner, maupun ruang nyata. Ruang akan membuka terjadinya dialog, dimana dapat pula terjadi interaksi dan percakapan untuk mengkomunikasikan setiap kepentingan untuk saling bertemu. Terdapat perbedaan penggunaan ruang pribadi, ruang publik, dan ruang sosial, setiap ruang dapat dikomunikasikan untuk mencapai gagasan dan kepentingan. Perbedaan secara prinsip ruang pribadi dan ruang publik, diperlukan aturan yang mengikat masing-masing ruang, untuk menghindari terjadinya konflik. Perbedaan ruang tidak saja pada wilayah sosial, juga menyentuh persoalan kekuasaan dalam politik. Perebutan ruang kekuasaan, merupakan wujud betapa ruang berkuasa dan mewah menjadi idaman bagi setiap orang. Tidak terkecuali, keberadaan ruang interaksi dan komunikasi positif yang murah, serta terbuka, masih menjadi kebutuhan masyarakat, untuk menghindari pembentukan ruang-ruang ekonomis yang bersifat komersil, dan terkadang dipandang negatif. Keterbatasan dan keleluasaan ruang, memberikan persemaian minuman keras pada masyarakat sosial, yang sama seperti rokok, selain memiliki dampak negatif, tidak dapat diabaikan dampak positif bagi perekonomian dan kebudayaan masyarakat tertentu.
Boleh percaya, boleh juga tidak, bahwa simbol dan teks-teks memiliki naluri. Teks, salah satu dari jutaan simbol tidak berhenti dan tidak dapat dilihat berdasarkan tampilan kasat mata saja. Sebagai wujud visual, teks membawa bermacam-macam orientasi budaya, ideologi, percakapan sosial dan keilmuan, teknologi, atau rujukan filosofis dan budi pekerti. Simbol merupakan tanda-tanda dan makna, yang dihadirkan dalam aturan dan kesepakatan visual, atau dapat berwujud menjadi sekumpulan teks-teks. Periodeisasi teks bahkan dapat dikatakan sebagai kategorisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan kondisi sosial masyarakat. Teks-teks dapat berwujud konotatif dan denotatif, dapat berwujud aksara yang sesungguhnya, atau bersembunyi pada fitur-fitur sosial yang hanya dapat “dibaca” dengan ilmu pengetahuan tertentu. Tepatlah jika dikatakan oleh tokoh, bahwa teks merupakan gagasan metafungsional, kumpulan makna ideasional, interpersonal, dan tekstual. Sesungguhnya teks tidak berhenti pada wujud sebuah aksara dan huruf saja, tetapi didalamnya selalu diiringi makna-makna. Bahkan, beberapa teks merupakan “naluri” hidup dari si penulisnya, yang pada beberapa kasus memberikan efek langsung, seperti pada teks erotis, teks perang, atau roman-roman. Atau, karena naluri ini pula, beberapa teks akan menimbulkan konflik dan masalah sosial, sehingga dilarang untuk beredar. Teks menunjukkan kadar ilmu pengetahuan seseorang, dan seringkali menjadi rebutan untuk menentukan status di kehidupan sosial.
Bagian penutup, obrolan galau tentang The Facebooker, dan kematian nilai-nilai humanisme, tetap menjadi tanda tanya besar, bahwa percakapan tentang facebook ini memang belum selesai. The Facebooker dan dunia-dunia mesin yang terkait didalamnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sosial. Kematian dan kehidupan nilai humanis, sama seperti setiap gaya hidup pada ranah sosial, akan dilahirkan, berdialektika, dan mati. Berulang-ulang, sangat sesuai dengan konsep-konsep evolusi yang terjadi dalam setiap nafas kehidupan pada level sosial. Akhirnya, gagasan kajian budaya dalam melihat perilaku dan aktivitas seniman sebagai bagian masyarakat sosial, tidak akan pernah selesai untuk dieksplorasi. Selamat membaca, selamat merenung, dan selamat bertanya.
Yogyakarta, 10 Februari 2015,
Komentar
Posting Komentar