Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
I
Teks,
salah satu dari jutaan tanda yang tak berhenti dan tak dapat dilihat dari
tampilan kasat mata saja. Sebagai wujud visual teks, membawa bermacam-macam
orientasi budaya, percakapan sosial dan keilmuan, serta berupa emosional
mendasar dari para pencetusnya. Teks-teks telah menembus batas-batas ruang dan
waktu ketika membicarakannya. Didalamnya, terdapat konsep-konsep pikir
teknologi, estetika, dialog ideologi dan budaya, serta tak lepas dari persoalan
spiritual dalam arti sebenarnya. Semangat zaman atau periodeisasi teks bahkan
dapat dikatakan sebagai periode teknologi, kebudayaan, dan kondisi sosial
masyarakat yang terlibat. Teks merupakan perwajahan zaman-zaman yang ada
dikehidupan sosial. Teks-teks yang dibicarakan dengan beraneka ragam konteks,
balutan emosional, ragam keilmuan, falsafah-falsafah kehidupan, dan secara
mendasar tak lepas dari ilmu pengetahuan. Atribut teks, menjadi penanda
ideologi-ideologi yang berkembang pada kehidupan masyarakat sosial.
II
Sejarah tulisan mencatat perkembangan bahasa ekspresi
dengan huruf atau tanda-tanda lainnya. Sejarah mencatat, bahwa bahasa telah
berkembang secara berbeda pada tiap peradaban manusia. Awal mula tulisan
diketahui pada masa proto dengan sistem ideografik dan simbol mnemonik. Tulisan
ditemukan pada dua tempat yang berbeda, yaitu: Mesopotamia (khususnya Sumer
kuno) sekitar 3200 SM dan Mesoamerika sekitar 600 SM. Dua belas naskah kuno
Mesoamerika diketahui berasal dari Zapotec, Meksiko. Sementara itu, tempat
berkembangnya tulisan masih menjadi perdebatan antara di Mesir sekitar 3200 SM
atau di China pada 1300 SM.[1]
Dalam catatan seorang blogger, teks ini didefinisikan
oleh Luxemburg, sebagai ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, pragmatik
merupakan suatu kesatuan. Berdasarkan pendapat tersebut, setidaknya terdapat
tiga hal yag harus ada dalam sebuah teks, yaitu: isi, sintaksis, dan pragmatik.
Teks memiliki makna, tata bahasa, dan susunan, kemudian dalam perekaman dan
penceritaan suatu kejadian masa lampau, ilmu pengetahuan, hal spiritual, atau
abstraksi teks lainnya, menjadi sesuatu yang sangat penting bagi orang lain.[2] Atau dapat pula tak
bermakna apa-apa.
Tekstualitas sekumpulan teks dapat dimaknai
berbeda-beda, dikotomi ilmu pengetahuan menjadikan teks dalam kemasan yang
berbeda fisik dan pendalaman, termasuk kandungan makna didalamnya. Teks
merepresentasikan percakapan dan dialog dalam situasi tertentu, ia merekam dan
menghadirkan informasi waktu lalu, dan dibaca di waktu lain, dialog antarwaktu
dapat menciptakan teks-teks baru yang saling atau tak bersinggungan sama
sekali. Percakapan melalui teks-teks pada media online, atau melalui buku,
surat kabar, dan bentuk-bentuk fisik wadah teks, antara pembaca dan penulis,
sebetulnya menunjukkan ada dialog aktif antarkeduanya.
Teks-teks yang dibuat penulis dengan kandungan aktivitas seks misalnya, membawa imaji pembaca untuk secara langsung berimajinasi dalam alam penulis. Atau seperti teks-teks dengan muatan politik, korupsi, gosip selebriti, ketimpangan dan kejanggalan hukum, termasuk teks-teks tentang kekaguman tokoh publik, adalah bagaimana teks ini, dalam kuasanya, menggiring orang lain untuk larut dalam lingkaran dan emosional teks. Disini, terkadang muncul reaksi yang sebagian besar dikondisikan oleh penulis, dimana para pembaca akan ikut sedih, larut dalam kebencian, turut bangga, mengalami kemurkaan, dan turut pula mencaci-maki. Emosional pembaca sepertinya dipermainkan, dan sekali lagi, teks memberikan ruang imaji yang sebebas dan seluas-luasnya bagi pembaca.
Teks-teks yang dibuat penulis dengan kandungan aktivitas seks misalnya, membawa imaji pembaca untuk secara langsung berimajinasi dalam alam penulis. Atau seperti teks-teks dengan muatan politik, korupsi, gosip selebriti, ketimpangan dan kejanggalan hukum, termasuk teks-teks tentang kekaguman tokoh publik, adalah bagaimana teks ini, dalam kuasanya, menggiring orang lain untuk larut dalam lingkaran dan emosional teks. Disini, terkadang muncul reaksi yang sebagian besar dikondisikan oleh penulis, dimana para pembaca akan ikut sedih, larut dalam kebencian, turut bangga, mengalami kemurkaan, dan turut pula mencaci-maki. Emosional pembaca sepertinya dipermainkan, dan sekali lagi, teks memberikan ruang imaji yang sebebas dan seluas-luasnya bagi pembaca.
Kemasan teks sekaligus akan mengkondisikan
pembacanya. Kesepakatan ini menjadi mutlak, bahwa teks-teks semacam karya
sastra (semacam novel, puisi), akan dapat dinikmati secara maksimal oleh para
pembaca atau peminat kayra sastra. Demikian halnya juga, teks-teks lain seperti
teks ilmu komputer, kesenian, arsitektur, teks-teks spiritual, yang akan
sekaligus menunjuk bidang-bidang pembacanya. Artikulasi teks menjadi sempurna,
ketika ia hadir pada ranah-ranah yang dapat dipahami, dimengerti, serta dirasakan
wujud fisiknya.
Teks-teks hadir sebagai wujud adanya aktivitas manusia di waktu sebelumnya, ketika seorang pembaca, atau orang lain melihat teks tersebut. Teks ini adalah gambaran adanya dialektika dari bermacam-macam budaya, hasil-hasil penelitian ilmiah, atau pun rangkaian imajinasi dari orang lain, yang hadir di ranah orang lain, dapat dimaknai sama, dapat pula berbeda. Peristiwa-peristiwa masa lalu, yang tak terbatas waktunya, mampu diceritakan oleh teks. Sejarah kerajaan, cerita peperangan, aktivitas berkesenian, cerita roman dan percintaan, catatan spiritual, penemuan-penemuan teknologi, secara mudah diketahui dan dipelajari oleh orang lain melalui teks.
Teks-teks hadir sebagai wujud adanya aktivitas manusia di waktu sebelumnya, ketika seorang pembaca, atau orang lain melihat teks tersebut. Teks ini adalah gambaran adanya dialektika dari bermacam-macam budaya, hasil-hasil penelitian ilmiah, atau pun rangkaian imajinasi dari orang lain, yang hadir di ranah orang lain, dapat dimaknai sama, dapat pula berbeda. Peristiwa-peristiwa masa lalu, yang tak terbatas waktunya, mampu diceritakan oleh teks. Sejarah kerajaan, cerita peperangan, aktivitas berkesenian, cerita roman dan percintaan, catatan spiritual, penemuan-penemuan teknologi, secara mudah diketahui dan dipelajari oleh orang lain melalui teks.
Teks-teks Proklamasi contohnya, “Kami bangsa
Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai
pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo
jang sesingkat-singkatnja”, adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu masyarakat
sebelum 17 Agustus 1945. Puncaknya ketika dibacakan teks ini, kegembiraan,
terharu, senang, dan bahagia merupakan reaksi alamiah pada masyarakat, teks
yang dengan kalimat sederhana, tetapi menggambarkan betapa berat dan sulitnya
untuk mencapai sebuah kemerdekaan atas penjajahan bangsa asing. Teks ini
merupakan pemicu dan motor penggerak pada masyarakat untuk merebut dan
mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa teks
lain bahkan dapat berfungsi sebagai pengotrol atas etika, moral, pedoman hukum
pidana dan perdata, mengikat perjanjian, dan mampu menghadirkan nuansa
intelektual dengan batasan-batasan tertentu.
Sekian banyak revolusi dan perubahan yang
terjadi didunia ini, selalu ada teks-teks didalamnya, beberapa peristiwa
penting ditandai dengan adanya teks. Sebutlah, tanpa adanya Al-Qanun fi At Tibb mungkin pengobatan
modern takkan ada, tanpa adanya Origin of
Species mungkin hari ini Amerika takkan berjaya, tanpa adanya tulisan Khaled Said mungkin revolusi mesir tak
akan terjadi. Babilonia hanya menjadi dongeng di kitab tanpa Code of Hammurabi.[3] Atau pun yang terjadi di
Indonesia, munculnya buku Cikeas Menjawab
merupakan tandingan atas buku Cikeas Kian
Menggurita.
Seperti diketahui, Cikeas Kian Menggurita ini adalah buku yang disusun oleh George Junus Aditjondro, berisikan fakta-fakta, bukti kejahatan-kejahatan kader Partai Demokrat dan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diungkapkan narasumber. Buku ini terdiri atas 203 halaman, berisi enam bab yang diawali sebuah kata pengantar yang ditulis oleh George. Bab pertama mengenai terbukanya kotak pandora. Bab kedua oligarki ekonomi, jejaring (cabal) ekonomi politik. Bab ketiga, skandal bailout Bank Century. Bab keempat, mengenai pelanggaran-pelanggaran pemilu. Bab kelima kesimpulan dan bab terakhir atau keenam diberi judul “So What”. Sedangkan buku Cikeas Menjawab karya pengarang asal Yogyakarta, Garda Maeswara, setebal 172 halaman yang diterbitkan penerbit Narasi, diluncurkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut penulisnya, buku ini disusun hanya dalam waktu empat hari, dan awal cetakan berjumlah 4.000 eksemplar.[4]
Seperti diketahui, Cikeas Kian Menggurita ini adalah buku yang disusun oleh George Junus Aditjondro, berisikan fakta-fakta, bukti kejahatan-kejahatan kader Partai Demokrat dan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diungkapkan narasumber. Buku ini terdiri atas 203 halaman, berisi enam bab yang diawali sebuah kata pengantar yang ditulis oleh George. Bab pertama mengenai terbukanya kotak pandora. Bab kedua oligarki ekonomi, jejaring (cabal) ekonomi politik. Bab ketiga, skandal bailout Bank Century. Bab keempat, mengenai pelanggaran-pelanggaran pemilu. Bab kelima kesimpulan dan bab terakhir atau keenam diberi judul “So What”. Sedangkan buku Cikeas Menjawab karya pengarang asal Yogyakarta, Garda Maeswara, setebal 172 halaman yang diterbitkan penerbit Narasi, diluncurkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut penulisnya, buku ini disusun hanya dalam waktu empat hari, dan awal cetakan berjumlah 4.000 eksemplar.[4]
Pada level dunia, terdapat teks-teks yang pernah
dilarang, disensor, dan dimusnahkan, karena munculnya beraneka ragam anggapan.
Misalnya, buku The Hunger Games, di sensor
karena tema kekerasan yang dominan, dianggap anti etnis, anti keluarga, dan
okultisme. Pada serial Harry Potter, diceritakan
bahwa tak semua orang menyukai buku-buku ini. Di tahun 2001, sekelompok orang
tua di Lewiston, Maine, Amerika Serikat, membakar beberapa seri buku ini karena
menganggapnya sebagai buku yang mempromosikan kekerasan, sihir, dan penyembahan
setan.
Novel Lolita, yang bercerita tentang seorang profesor dengan kelainan seksual berupa pedofilia. Buku ini pernah dilarang terbit di Perancis, Inggris, Argentina, Selandia Baru, dan Afrika Selatan. Di tahun 1885, buku The Adventure of Huckleberry Finn, dilarang penyebarannya oleh Perpustakaan Umum Concord di Massachussetts karena kata-katanya yang kasar, termasuk penggunaan bahasa slang dan kata-kata rasis. Selain itu ada The Catcher in The Rye, yang dalam waktu dua minggu setelah rilis di tahun 1951, novel karya J.D. Salinger ini menempati peringkat nomor satu di jajaran buku-buku New York Times. Meskipun demikian, menurut American Library Association, buku ini juga menjadi buku favorit untuk di sensor sejak awal publikasinya. Kata-kata kasar, vulgar, okultisme, dan isu moral yang membuat buku ini menjadi penuh dengan kontroversi. Apalagi, di tahun 1980 Mark David Chapman, menggunakan buku ini sebagai motif pembunuhan yang dilakukannya kepada legenda The Beatles, John Lennon.[5]
Di Indonesia, Kejaksaan Agung melarang peredaran lima buku terbit di tahun 2009. Mantan Jaksa Agung Muda Intelejen, Iskamto melaporkan ada lima buku yang dilarang penerbitannya. Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).[6]
Novel Lolita, yang bercerita tentang seorang profesor dengan kelainan seksual berupa pedofilia. Buku ini pernah dilarang terbit di Perancis, Inggris, Argentina, Selandia Baru, dan Afrika Selatan. Di tahun 1885, buku The Adventure of Huckleberry Finn, dilarang penyebarannya oleh Perpustakaan Umum Concord di Massachussetts karena kata-katanya yang kasar, termasuk penggunaan bahasa slang dan kata-kata rasis. Selain itu ada The Catcher in The Rye, yang dalam waktu dua minggu setelah rilis di tahun 1951, novel karya J.D. Salinger ini menempati peringkat nomor satu di jajaran buku-buku New York Times. Meskipun demikian, menurut American Library Association, buku ini juga menjadi buku favorit untuk di sensor sejak awal publikasinya. Kata-kata kasar, vulgar, okultisme, dan isu moral yang membuat buku ini menjadi penuh dengan kontroversi. Apalagi, di tahun 1980 Mark David Chapman, menggunakan buku ini sebagai motif pembunuhan yang dilakukannya kepada legenda The Beatles, John Lennon.[5]
Di Indonesia, Kejaksaan Agung melarang peredaran lima buku terbit di tahun 2009. Mantan Jaksa Agung Muda Intelejen, Iskamto melaporkan ada lima buku yang dilarang penerbitannya. Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).[6]
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_tulisan, diakses pada tanggal 13 Februari
2013, pukul 09.56 WIB.
[2] Lihatlah, “Teks, Sejarah, &
Perubahan”,
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/28/teks-sejarah-perubahan-350110.html,
diakses pada tanggal 13 Februari 2013, pukul 09.18 WIB.
[3] “Teks, Sejarah, & Perubahan”,
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/28/teks-sejarah-perubahan-350110.html,
diakses pada tanggal 13 Februari 2013, pukul 09.47 WIB.
[4]
http://politik.lintas.me/go/sugengsetyawan.blogspot.com/cikeas-menjawab-buku-tandingan-gurita-cikeas-diluncurkan-hot-/1/,
diakses pada tanggal 13 Februari 2013, pukul 11.20 WIB.
[5] Simak,
http://mizan.com/news_det/5-buku-terkenal-yang-pernah-disensor-dilarang-hingga-dibumihanguskan.html,
diakses pada tanggal 13 Februari 2013, pukul 11.34 WIB.
Komentar
Posting Komentar