Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
I
Hasrat
itu ibarat merokok dan minum segelas kopi, dinikmati pada setiap hisapan dan
seteguk demi seteguk kopi yang tersaji. Tak perlu diatur-atur kapan harus
menghisap dan menghembuskan, tak perlu waktu yang akurat ketika ingin
menyeruput kopi, walaupun dipaksa berlomba-lomba sebelum dikerubungi semut. Kedua
aktivitas ini, baik merokok atau pun ngopi, dapat dilihat sebagai ritual yang
menyenangkan dikala menyendiri, apalagi ketika sedang berdebat mengenai
persoalan-persoalan berkesenian, budaya, atau perkara hidup. Ritual yang
menyenangkan ini tak sengaja dibentuk dan dibuat-buat untuk mencapai
nilai-nilai, tetapi memang dapat dikondisikan. Dikondisikan ketika
hasrat-hasrat tersebut hadir dalam ranah abstrak, dan dibutuhkan prasarana
untuk menopang kegiatan tubuh, dipilihlah merokok dan ditemani secangkir kopi.
Bayangkan, ketika
seorang perokok dibiarkan sendiri tanpa kegiatan ritual yang biasa dilakukan,
tentu betapa tersiksanya. Pencapaian imaji-imaji akan semakin abstrak,
dihanyutkan lamunan-lamunan betapa keringnya pasar seni rupa di tahun-tahun
ini. Mudahnya pelaksanaan ritual, tak pernah dipusingkan oleh bermacam-macam
birokrasi dan aturan hukum, tak perlu keterampilan komunikasi khusus, tak perlu
harus berdebat kusir, tak butuh pula konsepsi-konsepsi teori yang berat, cukup
menyiapkan biaya, maka silahkan lakukan ritual. Tak perlu juga harus pesan dan
antri seperti orang yang akan berhaji, repot dengan segala macam birokrasi dan
dengan biaya yang tak sedikit. Tak harus juga dikondisikan secara serius dan
sistematis, ketika harus menghadirkan flora dan fauna dalam imajinasi berkarya.
Merokok dan ngopilah secara alamiah, karena rokok dan kopi tak memiliki
kelamin, bukan maskulinitas, tentu juga bukan soal femininitas. Ia justru dapat
dilihat pada budaya elit dan budaya massa, karena keduanya sangat berhubungan
dengan masyarakat sosial, rokok dan kopi memiliki hubungan kekerabatan yang
erat, sehingga menghasilkan komunitas-komunitas. Atau dapat pula dibicarakan
dalam strata sosial tertentu, sehingga mampu melanggengkan kekuasaan untuk
sekedar merokok dan ditemani secangkir kopi.
II
Merokok tak harus
laki-laki, tak harus pula perempuan, demikian pula penikmat secangkir kopi tak
dapat dilabelkan pada jenis-jenis kelamin. Mungkin, ada faktor budaya tertentu
yang dapat ditarik sebagai wacana kesimpulan awal, sehingga kenapa seseorang
merokok sekaligus ngopi, yang mengarah pada pemberian kelamin-kelamin. Melihat
pada dasar pemikiran budaya yang dapat diwariskan secara turun temurun, atau
budaya dapat dipelajari dengan maksud-maksud, dengan kerelaan hati untuk paham
dan ikut bagian sebagai perokok. Suatu kebudayaan diwariskan melalui proses belajar,
suatu bentuk kebudayaan dapat dihegemonikan dengan satu sistem, apakah secara
baik-baik ataukah dengan cara dipaksakan terhadap kelompok atau golongan
tertentu. Budaya merokok dapat dipicu oleh “dukungan” keluarga, faktor
lingkungan dan pergaulan sosial, dan keinginan pribadi. Tak terlalu rumit untuk
menentukan asal muasal perokok memulai aktivitas ini, walaupun memang bukan
pekerjaan mudah untuk mendapatkan jawaban yang benar. Pembacaan gender dari
perokok dan pengopi, bermufakat dalam wilayah abu-abu, maskulinitas yang muncul
atas dasar jenis kelamin laki-laki, tak dengan serta merta memberikan gambaran
puas mengenai wilayah perokok. Apa yang “diajarkan” seorang ayah ketika
merokok, dan dilihat oleh anak laki-lakinya, dicoba, ditiru, dan menjadi
kesenangan, bukan dalam rangka pewarisan nilai-nilai maskulinitas, tetapi
bagaimana perjalanan budaya merokok, senantiasa mengalami pemaknaan yang
berbeda-beda.
Dalam batas-batas yang
disepakati, merokok muncul atas pembelajaran dari suatu budaya yang terlihat,
teramati, dan terlaksanakan dengan sukarela. Mungkin, maskulinitas dan rokok
ini akan sangat berlaku pada situasi, kondisi, waktu, dan tempat tertentu.
Dimana, rokok dapat memberikan kesan-kesan gagah, bermewah-mewah, atau bahkan
dapat menunjukkan perkara strata sosial seseorang dengan rokok-rokok yang
dihisap. Misalkan dengan slogan-slogan Nyalakan Merahmu, Enjoy Aja, Talk Less
Do More, Pria Punya Selera, Kesempurnaan Dari Keahlian, Nggak Ada Lo Nggak
Rame, My Life My Adventure, Emang Bikin Bangga, Bukan Basa Basi, dan Bikin
Hidup Lebih Hidup, menggiring perokok untuk terlibat dalam rangka memilih
alternatif rokok atau memilih kelas-kelas sosial rokok sebagai bagian
citra-citra. Bukan karena slogan ini jadi perokok. Bahkan, secara tak sadar
rokok ini mengklasifikan kelompok sosial perokok menjadi perokok kretek dan
perokok filter. Hal yang mendasar tersebut, kemudian diberikan
ideologi-ideologi massif, sebagai ciri budaya populer, diberikan rasa-rasa
bangga, kelas-kelas, dan kemasan-kemasan ekslusif, yang sekali lagi adalah
dalam rangka membentuk identitas sosial di kehidupan masyarakat. Penghisap
rokok cerutu tentu sangat bangga tampil di mata umum masyarakat, sebagai
tampilan yang berbeda, dari perokok-perokok lainnya.
Tentunya,
budaya meniru ini bukan mutlak milik anak-anak semata, bahkan hampir setiap
orang memiliki sifat untuk meniru ini. Dalam kondisi tertentu jugalah, yang
mendorong anak-anak untuk meniru perilaku orang tuanya, ketika orang tua
merokok, kemungkinan akan ditiru oleh anak, apalagi atas dukungan
lingkungan dan pergaulan yang juga memberikan peluang besar anak untuk merokok.
Meniru teman-temannya, meniru guru, meniru tokoh, meniru artis, inilah sebagai
proses pertemuan seorang dengan budaya yang ada disekitarnya.
Teks-teks ini takkan melihat nilai positif atau negatif dari merokok, karena
ritual tersebut adalah pilihan-pilihan yang terlepas dari persoalan memahami
pergulatan hidup di masyarakat.
Komentar
Posting Komentar