Deni S. Jusmani
Persoalan pokok yang dibicarakan Setu Legi dalam karya instalasinya pada Jogja Biennale XI 2011 adalah manipulasi dan korupsi di bidang agama. Religiusitas bukan perkara benar atau salah, tapi bagaimana nilai religi tersebut mampu memberikan ketentraman dalam kehidupan sosial. Toleransi antara umat-umat beragama di Indonesia, semakin memprihatinkan. Ketika permasalahan individu masuk pada ranah lembaga, muncul ketidakadilan dalam penyelesaiannya. Ketegangan dan konflik antar-agama adalah wujud tak ada lagi saling toleransi didalamnya. Hal ini dikarenakan sudah ada penkultusan kelompok “paling benar”, sehingga yang lain menjadi kelompok “yang salah”. Konflik ini, tak serta merta diselesaikan dengan tuntas oleh lembaga-lembaga yang berkenaan langsung, bahkan pemerintah dan aparat penegak hukum, seolah tak berdaya meredakan ketegangan umat beragama. ......
Karya instalasi Setu Legi, dengan tema “berhala”, sebetulnya bercerita mengenai sistemisasi rumit peristiwa berhaji, yang sudah masuk pada wilayah industri. Keberadaan industri berkedok religiusitas membuat ongkos naik haji semakin mahal, langka, dan cenderung ekslusif, padahal di sisi lain masyarakat tetap dihimbau untuk melakukan perjalanan haji melalui pemerintah. Peristiwa ini dilihat Setu Legi sebagai bentuk manipulasi pemerintah terhadap masyarakat. Sumbangan devisa yang diberikan kepada pemerintah Indonesia dan Arab, di olah, dan di bawa kembali oleh para tenaga kerja Indonesia, sebetulnya menunjukkan kemunduran dalam soal ekonomi. Ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, yang digunakan masyarakat untuk “tamasya religi” di Mekkah tak pernah secara transparan dijelaskan oleh pemerintah, dan dari tahun ke tahun ongkos tersebut terus naik.
Simbol-simbol pada karya instalasi Setu Legi, juga menyinggung anarkisme dalam kehidupan religiusitas di Indonesia akhir-akhir ini. Berhala dari waktu ke waktu mengalami demikian banyak peristiwa. Jika di masa lalu sempat disembah dan dihancurkan, juga terjadi saat ini. Berhala-berhala dalam konteks kebendaan, tak saja dibebankan tanggung jawab dan tumpuan pelampiasan kemarahan. Disalahkan atas dasar “keraguan” dan klaim benar atau salah berdasarkan keputusan lembaga-lembaga yang kurang memahami fungsi kebendaan dari sebuah berhala. Secara tak sadar, keraguan ini merongrong nilai toleransi dalam kehidupan sosial, tak terkecuali konteks keagamaan. Toleransi tak ada dan sangat dibutuhkan, manakala perbedaan pandangan dan cara pandang dalam keyakinan, akibatnya muncul sikap otoriter, mau menang sendiri, dan anarkisme semakin menjadi. Setu Legi menggarisbawahi, bahwa hal ini karena kurang komunikasi atau salah komunikasi yang terjadi dalam rantai kehidupan beragama di Indonesia. Selain memang, tak dapat dipungkiri adanya pihak-pihak yang mempolitisir dan memperkeruh situasi religiusitas saat ini.
Pada wacana nasional, simbol-simbol dari karya Setu Legi memiliki konsep, bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan dengan cara-cara yang manusiawi, tak main hakim sendiri, dan mengedepankan musyawarah. Hak Asasi Manusia seharusnya dipandang secara utuh, sekaligus menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang dijadikan sebagai pedoman untuk bermasyarakat. Berhala seharusnya tak ditempatkan sebagai sebuah benda yang menjadi sumber permasalahan. Berhala dapat dimaknai sebagai dinamika kehidupan religius yang ada dikehidupan masyarakat, sehingga menjadi entitas kebudayaan yang perlu di apresiasi.
Pada ranah Internasional, simbol berhala ini menggambarkan menara kembar di Amerika Serikat (World Trade Center), yang dihancurkan dan diduga merupakan “kambing hitam”, serta dijadikan alasan untuk invansi kekerasan tentara Amerika untuk menjajah wilayah Arab. Kebanggaan, sekaligus politisir pemerintah Amerika terhadap kehancuran “berhala”, membutakan nurani, dan pada akhirnya menjatuhkan ribuan korban tak bersalah, sebagai bentuk penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Persoalan ini tak selesai disini saja, efek kehancuran “berhala” Amerika Serikat, meluas ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kerusuhan saling bersahutan, muncul di hampir pelosok wilayah Indonesia, penistaan agama, pelanggaran hak asasi manusia, pembunuhan, pelecehan, dan saling serang sesama pemimpin, menunjukkan betapa dangkal cara berpikir dan nilai religiusitas. Pada akhirnya, hanya orang-orang lemah yang selalu menjadi korban.
Isu lainnya adalah persoalan nasionalisme yang semakin memudar, juga muncul dalam karya instalasi Setu Legi. Tidak mengakui hak-hak orang banyak dan mementingkan kepentingan pribadi, merupakan awal dari runtuh dan pecahnya rasa nasionalisme pada masyarakat. Burung Garuda sebagai lambang negara yang mengisyaratkan perbedaan tapi tetap menjadi satu kesatuan, seakan menjadi sebuah berhala usang, mati, dan tak lagi dijadikan pedoman. Perbedaan yang ada hendaknya disikapi dengan mengedepankan mufakat bersama, bukan pada rasa emosional. Dengan demikian, kerukunan umat beragama dapat tercapai dengan baik.
Komentar
Posting Komentar