Kecintaan Wimo Ambala Bayang pada dunia seni, sudah dimulai dari masa anak-anak. Masa kecil ia senang menggambar, dan beberapa aktifitas berkesenian lainnya. Wimo yang dilahirkan dan menghabiskan masa anak-anak di Kabupaten Magelang, sampai masa sekolah lanjutan tingkat atas. Saat jenjang perguruan tinggi, ia merantau ke Yogyakarta, untuk melanjutkan kecintaannya pada dunia seni. Mendaftar pada Minat Desain Interior Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, tapi tak langsung di terima. Gagal, tak membuat Wimo putus asa, ia mendaftar di Modern School Design. Saat bergabung dengan lembaga pendidikan ini, bertempat tinggal pada komunitas fotografer. Saling interaksi dengan sesama fotografer, membuat Wimo mulai menyenangi dunia ini. Walaupun, dunia fotografi bukanlah hal baru baginya. Secara perlahan, informasi mengenai bidang ini dipelajari secara otodidak dari komunitas yang ada, sampai akhirnya Wimo memutuskan untuk mendalami fotografi secara profesional di bangku perkuliahan.
Setelah setahun di Modern School Design, Wimo kembali mendaftar dan diterima di Institut Seni Indonesia Jurusan Fotografi. Mulai saat itu juga pengalaman dan pemahaman dunia fotografi semakin dipahami. Sejarah berkeseniannya di fotografi, tak mendalami objek-objek khusus, tetapi lebih mengangkat pada persoalan keunikan, kejanggalan, dan keanehan. Unik dalam tampilan visual, keunikan objek tertentu, yang sering luput diamati dan ada disekitar kehidupan sehari-hari. Fenomena unik dan aneh ini juga muncul pada karya fotografi untuk Biennale XI.
Karya fotografi Wimo acara Biennale Jogja XI masuk persoalan religius, saat ia menampilkan salah satu ikon Agama Islam, yaitu: replika Ka’bah dari beberapa daerah yang ada di Indonesia. Karya seni fotografi kali ini memiliki konsep yang cukup sederhana, yaitu berdasarkan pada keunikan dan keanehan. Keunikan ini dapat diterjemahkan sebagai sebuah tampilan visual aneh dalam gagasan Wimo. Pada Biennale ini, salah satu karya ditekankan pada aspek visual berupa penggambaran fenomena awan dengan bentuk burung garuda, tepat berada di atas Ka’bah. Suatu fenomena alam yang unik dan jarang terjadi, berhasil direkam dan ditampilkan menjadi karya seni. Selain persoalan visual, latar belakang karya fotografi Wimo memang tak terlepas dari kejadian, tempat, gambar, dan tempat yang unik.
Ketertarikan terhadap objek Ka’bah, bukannya tak beralaskan. Situasi keberagaman agama di Indonesia dipandang tak lagi kondusif, anarkisme terjadi dimana-mana, dan terjadi pencideraan toleransi antar umat beragama. Wimo memandang perkara kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam konteks kepercayaan dikarenakan kurangnya komunikasi pada masing-masing. Pembenaran yang dilakukan bertolak pada pemikiran benar dan salah dalam persepsi kelompok tertentu, sehingga menyalahkan pemikiran orang lain. Radikalisme sebagai upaya mempertahankan keutuhan kekuasaan tertentu, sehingga mengabaikan aspek-aspek mufakat, toleransi, dan kemanusiaan. Karya fotografi Wimo, memang tidak mengisyaratkan secara langsung persoalan konflik agama akhir-akhir ini, tetapi menampilkan sisi religiusitas dengan menggunakan objek Ka’bah.
Dalam wilayah keberagaman, seringkali dilihat melalui paradigma yang sempit dan emosional. Religiusitas merupakan wilayah kepercayaan dan keyakinan, yang tak dapat dipaksakan, pada saat keyakinan dinistai dengan pembenaran pada pandangan tertentu, dengan mengabaikan kepercayaan kelompok, yang muncul adalah kekerasan dan anarkisme. Situasi seperti inilah yang disoroti oleh Wimo melalui karyanya. Ia berandai-andai, kerukunan umat beragama di Indonesia tak dikotori oleh politik adu domba, atau pun manipulasi politik lainnya, dapat dipastikan tak ada lagi kekerasan menyangkut keyakinan. Isu terorisme yang mendiskreditkan kelompok tertentu, terlalu dimanipulasi kepentingan-kepentingan pemerintah, sehingga persoalan utama dalam kekerasan terhadap agama, mengalami distorsi dan dipermainkan dengan sedemikian rupa. Terorisme tak pernah disukai oleh siapa pun, selain membawa ideologi pemaksaan, tak terlepas dari penghujatan keyakinan beragama. Keberagaman hendaknya dipahami sebagai perbedaan yang saling menyatukan, bukan untuk saling serang dan saling menjatuhkan demi mencapai kebenaran personal atau pun kelompok.
Ideologi agama tak dapat dilepaskan dari persoalan sosial dan budaya. Dalam khazanah keberagaman, masyarakat sosial turut menopang eksistensi kerukunan umat beragama, sehingga ideologi yang terbangun memang sangat kompleks. Kompleksitas agama dan sosial memiliki relasi-relasi dominan dengan keberlangsungan kepercayaan tertentu. Pembentukan moral, sebagai bagian kehidupan beragama, juga ditentukan oleh kode etika yang berlaku dan dijalankan sebagian besar masyarakat sosial.
Komentar
Posting Komentar