Langsung ke konten utama

AGAMA, UPACARA, DAN STRUKTUR SOSIAL


Selayang Pandang Pemikiran Clifford Geertz, Levi-Strauss, dan Emile Durkheim 

Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com

Tulisan ini mencoba memaparkan beberapa pandangan dari Clifford Geertz, Levi-Strauss, dan Emile Durkheim mengenai agama, upacara, dan struktur sosial, yang disertai beberapa keterkaitan diantaranya. Penjelasan dan pemaparan ini masih dalam tatanan kajian pustaka, tidak merujuk pada suatu tatanan sosial secara khusus, tetapi lebih ditekankan pada teori-teori mendasar dari tema yang diketengahkan.



PENGANTAR

Struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi, bahkan ada sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktur sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antropologi.

Dalam kenyataannya para ahli antropologi telah dihadapkan pada suatu tantangan, yaitu memberikan penjelasan mengenai berbagai konsep yang nampaknya samar-samar, tetapi selalu ada dalam setiap sistem sosial dan kebudayaan, dan bahkan juga terwujud dalam berbagai kegiatan manusia pada tingkat kenyataan sosial. Oleh para ahli antropologi, sistem-sistem konseptual yang ada pada berbagai aneka ragam kehidupan manusia dilihat sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip struktur sosial; dan karenanya maka hasil pengkajian mereka itu menjadi sistem-sistem konseptual dari para ahli antropologi.

Dalam tulisan ini akan dikaji sistem konseptual mengenai struktur sosial, dalam kaitannya dengan agama dan dengan upacara; yaitu dengan cara membahas cara-cara yang telah dilakukan secara berbeda oleh beberapa ahli antropologi dalam melihat hubungan fungsional antara agama, upacara, dan struktur sosial; dan cara melihat hubungan antara struktur sosial dengan kenyataan sosial. Uraian akan mencakup pembahasan mengenai: (1) agama sebagai sistem kebudayaan; (2) kebudayaan sebagai sistem struktur; (3) struktur sebagai sistem antropologi; (4) sosiologi agama Emile Durkheim; dan (5) kesimpulan.

AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN

Pandangan Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan agama juga mencerminkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya:

Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.[1]

Pemikiran agama dikatakan sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Menurut Geertz;

Kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.[2]

Pentingnya bentuk simbolik selalu diulang-ulang penekanannya dalam tulisan Geertz, dan diusahakannya untuk ditunjukkan sebagai suatu cara yang dengan cara tersebut kenyataan-kenyataan sosial dan kejiwaan diberi suatu bentuk konseptual yang obyektif.[3] Simbol-simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan.[4] Dengan demikian sumber dari simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi; (2) berasal dari dalam, yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model bagi dari sistem-sistem konsep dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial.

Sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz adalah;

Untuk mempersatukan dua sistem yang paralel dan berbeda tingkat hierarkisnya ini dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mual ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan.[5]

Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi, sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam “ke seia sekataan”, yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh Geertz:

Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia.[6]

Dengan demikian, jika untuk Geertz kebudayaan adalah seperangkat teks-teks simbolik,[7] maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order).

Secara keseluruhan terdapat suatu kesan bahwa model dari Geertz tersebut melingkar-lingkar dan selalu berulang disana-sini. Hal ini disebabkan oleh: (1) Bahwa pembahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya dilakukan demikian, yaitu bahwa sistem sosial adalah aliran bersama yang terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang tertentu saja; yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya, dan b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta tergantung satu sama lainnya;[8] dan bahwa kesemuanya itu tidak harus berada dalam suatu keadaan yang secara menyeluruh dan mendalam saling berkaitan satu sama lainnya menjadi sistem-sistem;[9] (2) Bahwa model-model dari Geertz bersifat fleksibel, ilusif, dan jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku, karena menurut Geertz;

Ide-ide memberikan informasi kepada hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan sosial di antara kelompok-kelompok dan individu-individu [yaitu struktur sosial].[10]

Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-ide yang dimiliki tergolong sebagai strukturalis. Karya Geertz memang amat besar artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakekat hubungan-hubungan yang bersifat umum dan mendasar. Sumbangan pikiran Geertz yang berupa pendekatan “emosional” mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dalam hal informasi dan konsep teoritis, sehingga telah lebih banyak menghasilkan berbagai rumusan, jika dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya. Akhirnya, dapat pula dikatakan bahwa penggunaan dari “tujuan-tujuan emosi dan kognitif”[11]  dari studinya adalah juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam upacara yang ditunjukkannya.

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM DAN STRUKTUR

Dalam perbandingannya dengan analisa kebudayaan dari Geertz, studi-studi mengenai organisasi sosia yang telah dilakukan oleh para strukturalis mempunyai ciri yang lebih kaku sifatnya; yang terwujud sebagai pendekatan rumus-rumus atau formula terhadap sistem-sistem hubungan dan konseptual yang dipunyai oleh manusia. Sesungguhnya, dengan menggunakan pendekatan struktural ini para ahli antropologi lebih mudah untuk mendekati sistem-sistem hubungan tersebut dalam usaha mereka untuk dapat memahaminya, dan menghindarkan mereka dari berbagai masalah seperti yang telah dihadapi oleh Geertz sebagaimana terwujud dalam abstraksi-abstraksinya yang mungkin dapat membingungkan seperti yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu.

Kemudahan ini telah juga menyebabkan terwujudnya suatu kondisi yang menstimulasi para ahli antropologi untuk dengan mudah terlibat dalam manipulasi data yang mencakup pengungkapan konsepsi-konsepsi dari dan mengenai gejala-gejala sistematik yang ditelitinya untuk saling dihubungkan dalam struktur-struktur. Dengan kata lain, menggunakan istilah dari Geertz, ide-ide yang memberi informasi mengenai struktur sosial menjadi bersifat antropologi karena telah dimanipulasi oleh ahli antropologi dan bukannya mengenai yang sebenarnya menjadi milik dari masyarakat setempat, yang memang mempunyai struktur sosial tersebut. Strukturalisme tidak selalu dipandang sebagai suatu teori mengenai seperangkat manipulasi yang telah dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda. Tingkat-tingkat pendekatan struktural dibedakan oleh: (1) tingkat kapasitas transformatif dan dinamik dari para ahli antropologi yang kemudian ditransmisikan pada kebudayaan yang dikajinya; dan (2) Tingkat dimana model struktural berkorelasi dan memberi tanggap atas hubungan-hubungan sosial dan ekonomi.

STRUKTURAL SEBAGAI SUATU SISTEM ANTROPOLOGI

Analisa secara struktural mengenai pemikiran keagamaan selama ini telah ditekankan pada bentuk-bentuk mitos dan ekspresinya yang terwujud sebagai rangkaian rakitan-rakitan struktur sosial dan proses-prosesnya. Tokoh dari analisa struktural ini adalah Levi-Strauss, yang model-model konseptualnya amat kompleks dan luas; sehingga nampaknya hampir tidak mungkin untuk dapat secara sewajarnya membahas keseluruhan model-modelnya tersebut dalam uraian pembahasan ini. Karena itu, dalam pembahasan ini hanya akan mencakup berbagai masalah yang berkaitan dengan yang telah dibahas.

Levi-Strauss menyatakan bahwa sistem-sistem simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan yang bersifat universal antara alam dan kebudayaan. Pertentangan secara dualistik ini ditunjukkan bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara diakronik, sebagaimana terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan kebudayaan yang diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat dualistik; yaitu kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan berasal dari suatu transformasi kebudayaan. Hal ini secara amat jelas diperlihatkan contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle),[12] dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan transformasi kebudayaan atau menjadi busuk dengan melalui transformasi alamiah. Simbol-simbol perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas bertindak sebagai kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi binari, yaitu melalui transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan sistem tetap tinggal bersifat dualistik yang statis pada kedua sumbunya. Kekuatan yang menyeluruh dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari ini dalam struktur mitos adalah suatu refleksi atau pencerminan dari cara universal dalam mengorganisasi pengalaman sehari-hari[13] dan berfungsi untuk menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak.[14]

Bentuk struktural dari mitos bercirikan pembedaan-pembedaan yang bersifat dualistik pada unsur-unsurnya, tetapi unsur-unsur itu saling berkaitan. Landasan dasar dari mitos adalah seperangkat metafor yang dualistik sifatnya, yang bersamaan dengan itu juga berlanjut pada adanya pendefinisian mengenai mediasi atau perantaraan antara kedua dasar yang dualistik tersebut. Satuan-satuan yang mendasar yang ada dalam struktur mitos adalah kumpulan-kumpulan makna atau pengertian-pengertian, yang disebut sebagai “tema-tema mitos”, yang mengandaikan satuan-satuan dalam unsur pokoknya dan dilihat dalam dan merupakan bagian-bagian dari suatu satuan yang lebih luas dan kompleks.[15]

Dengan demikian pada dasarnya struktur mitos itu bersifat dua-dimensi yang melibatkan transformasi-transformasi baik pada skala vertikal maupun pada skala horizontal di antara komponen-komponen atau unsur-unsurnya yang bersifat dualistik sebagaimana telah ditunjukkan oleh Turner dengan model triadiknya. Struktur mitos memperoleh keabsahan dan corak simboliknya (yaitu sebagai sesuatu yang bebas dari pengertiannya atau artinya yang tertempel pada masing-masing tema mitosnya) pada suatu tingkat ketidaksadaran, oleh karena kesamaannya dengan struktur linguistik. Unsur-unsur dari mitos yang struktural sifatnya adalah universal; dan keuniversalan ini dapat dilihat dengan cara menggeneralisasi dari hasil-hasil studi mengenai variasi-variasi mitos baik yang ada dalam masyarakat yang satu maupun dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.

Mitos terdiri atas berbagai versi, yang tercakup di dalamnya: dan ..... sebuah mitos akan tetap sama sebagaimana dahulunya selama mitos itu dirasakan sebagaimana adanya.[16]

Dalam mitos juga selalu terdapat pengulangan-pengulangan; dan fungsi dari pengulangan-pengulangan tersebut (baik tema-tema mitosnya maupun strukturnya yang ada dalam berbagai versi-versinya) adalah untuk membuat keseluruhan dari bingkai struktur mitos tersebut baik secara sinkronik maupun secara diakronik, agar nampak jelas; dan dengan melalui dorongan-dorongan kekuatan yang terus menerus ada, menyajikan suatu model yang logis atau masuk akal yang dapat berfungsi untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi.[17] Kontradiksi-kontradiksi yang ada adalah pada tingkat logika dan mitos bertindak sebagai perantara untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini, walaupun pengalaman bertentangan dengan teori mengenai berbagai gejala alamiah, dalam kenyataannya kehidupan sosial mengabsahkan berlakunya kosmologi, yaitu melalui mitos, oleh karena persamaan dalam strukturnya. Oleh karena itu maka kosmologi adalah suatu kebenaran yang sah.[18]

Adanya pengulangan dan variasi-varisasi dari struktur mitos, tetapi peranan dari mitos, dapat terlaksana dengan cara melakukan penggeneralisasian dari suatu jumlah bingkai yang secara teoritis tidak terbatas, yang masing-masing agak berbeda antara satu dengan lainnya. Jadi mitos ditumbuhkan atau dikembangkan seperti spiral sampai tercapainya suatu titik kejenuhan intelektual yang menyeluruh, sehingga terhenti proses pemproduksiannya. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang berlanjut terus menerus, tetapi strukturnya tetap atau tidak berkembang mengikuti pertumbuhan tersebut.[19]

Karenanya, kalau dilihat dari hakikat eksistensinya dan dari struktur arusnya, sehingga mitos adalah suatu perantara antara organisasi sosial sesuatu aggregate individu-individu di satu pihak dengan struktur-struktur sosial dan kosmologi yang melingkupi individu-individu tersebut di pihak lainnya.

Bagi Levi-Strauss, struktur mitos yang tercakup dalam model-model strukturalnya dan struktur mitos dalam konsep-konsep pemikiran manusia adalah sebuah satuan yang satu. Hal ini dikarenakan struktur mitos dilihatnya sebagai berlandaskan pada proses-proses dan pengkategorisasian secara linguistik yang universal dan dengan demikian secara analogi kegiatan konseptual manusia adalah bersifat universal.

Mitos memberi makna yang penting bagi pemikiran manusia yang bersangkutan dengan mitos itu sendiri dengan cara menggunakannyaa dalam kehidupan yang nyata yang dengan demikian pemikiran itu sendiri adalah sebagian dari mitos itu sendiri. Dengan demikian juga terdapat suatu produksi mitos yang berjalan secara simultan, yaitu yang dilakukan oleh pemikiran manusia yang mendorong bagi penciptaan dan penggunaannya dan oleh mitos itu sendiri, mengenai gambaran tentang dunia yang memang telah menjadi sebagian dari dan berada dalam pemikiran manusia.[20]

Menurut Levi-Strauss, struktur-struktur sosial yang terdapat di dalam berbagai masyarakat manusia memperlihatkan adanya persamaan-persamaan dalam hal bentuk struktural dan unsur-unsurnya karena telah didefinisikan, divalidasikan, dan diperantarai oleh proses-proses pemikiran mitologi yang jalin menjalin dan yang ada dalam struktur mental manusia yang bersifat universal. Dengan demikian, maka tidak ada kaitan hubungan antara struktur sosial yang berfungsi sebagai perantara bagi individu melalui struktur mitos dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang dihadapi secara nyata dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep struktural yang universal sifatnya ini menciptakan sistem-sistem yang khusus, sehingga berbagai arus dari luar yang berasal dari lingkungan yang dihadapi atau dari motif-motif sosial dan ekonomi menjadi tercakup dalam kategori-kategori struktural yang deterministik sifatnya. Dalam kaitannya dengan konsep-konsep tersebut, Levi-Strauss mempertanyakan kenyataan dan otonomi dari konsep kebudayaan, dan menganjurkan untuk memperlakukannya sebagai suatu fragmen dari kemanusiaan, atau sebuah bagian yang khusus, atau yang dinamakannya sebagai isolate.[21] Dengan kata lain, bagi Levi-Strauss konsep Geertz mengenai kebudayaan sebagai ide yang memberi informasi adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan secara konseptual.

Dalam kepustakaan antropologi, masalah-masalah yang terwujud yang berkaitan dengan modelnya Levi-Strauss telah diperdebatkan secara tidak habis-habisnya; dan tidak sedikit yang menolaknya. Akan tetapi pendekatannya mengenai struktur mitos dan mitologi telah mempunyai pengaruh besar, tidak mudah untuk dihapuskan begitu saja dari teori-teori yang ada dalam antropologi. Masalah-masalah yang berkenaan dengan modelnya tersebut dan yang memperlihatkan keseluruhan dari “dogma” strukturalisme adalah: (1) Hakekat ke-universalan dari struktur sosial manusia, mitologi, dan proses-proses pemikiran manusia. Metodologi ini secara garis besarnya dapat dibantah seperti bantahan atau bahasan yang telah dikemukakan terhadap model-modelnya Victor Turner. Memang benar bahwa struktur dari pemikiran yang ada dalam otak manusia dan begitu juga proses primordial manusia, pada tingkatnya yang sangat umum, adalah unsur-unsur yang kita punyai sebagai manusia dan bahkan sebagai makhluk hidup. Akan tetapi kekhususan-kekhususan dari perwujudan kebudayaan dan variasi-variasi dari bentuk-bentuk kehidupan sosial dan masyarakat menuntut adanya suatu perangkat penjelasan yang lebih dinamik sifatnya; bukannya yang kaku. (2) Membatasi gejala-gejala sosial hanya menjadi garis-garis besar yang bersifat umum atau universal dan menolak adanya pengakuan mengenai arus dan sumber dari perubahan sosial hanya akan menuju kepada terwujudnya kontrol manipulatif dari para ahli antropologi terhadap data sosial yang sifatnya adalah setempat dan unik. Terlihat bahwa fungsi dari pengulangan sebagaimana yang terdapat dalam model-modelnya Levi-Strauss adalah untuk menolak atau meniadakan kehadiran struktur-struktur yang tidak statis, dinamis, dan mempunyai corak hubungan sebab-akibat dalam masyarakat yang dikaji. (3) Pendekatan strukturalnya menampakkan kecenderungannya yang “dogmatik” dan mencerminkan struktur sosial sebagai suatu sistem tertutup yang terbebas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi, dan dari lingkungan hidup.

SOSIOLOGI AGAMA EMILE DURKHEIM[22]

Definisi agama menurut Emile Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Dapat dilihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya, tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Menurut Emile Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

Sifat kudus yang dimaksud Emile Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang “kudus” itu “dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi”. Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Akan tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat “kudus”, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat “kudus” dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengan demikian, “kekudusan”pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa “kekudusan” suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu, tetapi tergantung dari pemberian sifat “kudus” itu oleh masyarakatnya.

Selain daripada melibatkan sifat “kudus”, suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi “kekudusan” itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang “kudus” dengan yang “profan” tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu’, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

Agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa agama menciptakan masyarakat, tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Emile Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Emile Durkheim yang menyatakan, bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Emile Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti “matahari”, “burung kakatua”, memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Akan tetapi ide mengenai “klasifikasi” itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Emile Durkheim ide tentang “klasifikasi yang hierarkis” muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep “kudus”. Konsep “kudus”, tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang di”kudus”kan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin dapat menimbulkan perasaan “kekeramatan” masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Emile Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep “kekudusan”, tetapi dapat dilihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Emile Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Emile Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi “masyarakat” karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Emile Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Misalnya, konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa. Perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari “agama” ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Moralitas individual itu menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu “kekudusan”. Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Ini merupakan suatu bentuk “kekudusan” yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Emile Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan “kultus individu” tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakikatnya adalah juga mahluk sosial, hanya dapat mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Emile Durkheim, tidak ada masyarakat yang dapat hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Emile Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Akan tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

KESIMPULAN

Dalam tulisan ini dicoba untuk menunjukkan bagaimana sejumlah ahli antropologi menggunakan cara-cara yang berbeda dalam melihat struktur sosial dalam kaitannya dengan agama dan upacara. Penekanan yang telah diberikan adalah pada hubungan-hubungannya yang dilihat secara konseptual, sehingga model-model mengenai hubungan-hubungan tersebut nampak berbeda-beda di antara ahli-ahli yang berbeda; yang mempunyai implikasi pada tingkat pembahasan yang mereka lakukan serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.

Dengan demikian maka juga nampak bahwa masing-masing model tersebut mempunyai relevansi dan validitas yang terbatas sesuai dengan tujuan penggunaannya dalam hal mengkaji hubungan antara struktur sosial di satu pihak dengan agama dan upacara di pihak lainnya. Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa masing-masing model yang telah dibahas tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1)      Model-model dari Geertz yang berdasarkan pada “model” bagi dan “model dari”, yang berlandaskan pada konsep-konsepnya mengenai sistem-sistem simbol dan ide yang memberi informasi; yang walaupun berbelit-belit, tetapi memberikan suatu ketegasan penjelasan mengenai arti kebudayaan dalam kaitannya dengan struktur dan dengan lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Geertz menyatakan bahwa studi mengenai agama, mitos dan upacara adalah sebagai jalan untuk memahami bagaimana manusia memahami dan menerima hakekat dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan sosial di masyarakatnya; struktur sosial yang merupakan bagian yang terorganisasi dalam kehidupan mereka menjadi dapat dipahami serta masuk akal secara sewajarnya bagi mereka.

2)      Model-model hubungan yang dibuat berdasarkan atas prinsip- prinsip kesadaran kolektif dan primordial yang dilakukan oleh Levi-Strauss; Levi-Strauss melihat struktur sosial bukan sebagai kenyataan yang dapat diamati, tetapi sebagai model bagi kenyataan. Model ini adalah suatu sistem yang mempunyai kesanggupan untuk memprediksi atau meramalkan dan membuat kenyataan dapat menjadi masuk akal dan dipahami. Menurut Levi-Strauss, sebagaimana juga dengan pendahulu-pendahulunya yaitu Emile Durkheim dan Radcliffe-Brown, agama adalah suatu bagian dari struktur sosial. Levi-Strauss percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat membantu usaha-usaha mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.

Perlu diperhatikan dalam pengkajian mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama dan upacara adalah dalam hal kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam lingkungan hidup yang dihadapi oleh para pelakunya dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan relevansi dari sesuatu keyakinan keagamaan dan upacara yang dilihat sebagai struktur sosial ataupun sebagai corak hubungan yang terwujud antara struktur sosial dengan agama dan upacara, bukanlah harus dilihat dalam konteks struktur itu sendiri, tetapi dalam suatu konteks yang lebih luas dan berlandaskan pada kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh para pelaku yang bersangkutan. Karena, agama mempunyai berbagai fungsi penting yang terwujud dalam berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:

1)      Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena sosial yang ada.

2)      Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya; sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar bagi individu-individu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.

3)      Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur sosial, yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan yang penting dalam mengko-ordinasi titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.

Untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakikat dan corak dari struktur sosial; dapat dipelajari dan dikaji agama, mitos dan upacara, sehingga dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Begitu juga sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut, dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Levi-Straus; Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Geertz, Clifford.  The Interpretation of Culture, New York: Basic Books, 1973.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: UI-Press, 1986.
Levi-Strauss, Claude. Structural Anthropology, London: Penguin Books, 1972.
_____________________. The Raw and the Cooked, New York: Harper and  Row, 1969.

KEPUSTAKAAN TAMBAHAN
Cunningham, Clark E. "Order in the Atoni House", dalam Reader in Comparative Religion, oleh: William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (ed), New York: Harper and Row, 1972, pp.116-135.
Turner, Victor. Dramas, Fields, and Metaphors, Ithaca: Cornell University Press, 1974.
______________. The Forest of Symbols, Ithaca: Cornell University Press, 1967.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, 1980.


[1] Clifford Geertz.  The Interpretation of Culture, New York: Basic Books, 1973, 90.
[2] Clifford Geertz.  1973, 89.
[3] Clifford Geertz.  1973, 93.
[4] Clifford Geertz.  1973, 362.
[5] Clifford Geertz.  1973, 451.
[6] Clifford Geertz.  1973, 94.
[7] Clifford Geertz.  1973, 452.
[8] Clifford Geertz.  1973, 408.
[9] Clifford Geertz.  1973, 407.
[10] Clifford Geertz.  1973, 362.
[11] Clifford Geertz.  1973, 449.
[12] Untuk lebih jelas, lihat Claude Levi-Strauss. The Raw and the Cooked, New York: Harper and  Row, 1969.
[13] Claude Levi-Strauss. Structural Anthropology, London: Penguin Books, 1972, 225.
[14] Claude Levi-Strauss. 1972, 229.
[15] Claude Levi-Strauss. 1972, 211.
[16] Claude Levi-Strauss. 1972, 229.
[17] Claude Levi-Strauss. 1972, 229.
[18] Claude Levi-Strauss. 1972, 216.
[19] Claude Levi-Strauss. 1972, 229.
[20] Heddy Shri Ahimsa-Putra. Strukturalisme Levi-Straus; Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001, 75-79.
[21] Claude Levi-Strauss. 1972, 35.
[22] Berdasarkan Anthony Giddens. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: UI-Press, 1986.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apresiasi dan Interpretasi Karya Seni

APRESIASI Feldman (1967) dan Smith (1967) mengelompokkan aktivitas apresiasi seni berdasarkan kepada proses persepsi dan intelektual melalui empat tahap, yaitu:  a. Menggambarkan  Mengamati hasil karya seni dan menggambarkan sifat-sifat yang terlihat, seperti: warna, garis, bentuk, rupa, tekstur, bidang, ruang, jalinan dan elemen-elemen gubahan yang termasuk sebagai prinsip dan struktur. Menggambarkan pada ranah lain dapat disebut sebagai mendeskripsikan tentang suatu bentuk atau tema dari sebuah gambar ekspresi. Menggambarkan dapat dilihat sebagai usaha untuk membaca hasil dari aktivitas anak-anak ketika menceritakan sesuatu kepada orang lain melalui karya seni.  b. Menganalisa  Menganalisa hubungan sifat-sifat tampak seperti unsur-unsur seni, prinsip, dan stuktur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: menganalisa kualitas ekspresif, seperti: mood dan suasana; menguraikan gaya suatu karya. Beberapa bagian karya gambar ekspresi akan menampilkan r

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK A. TIPOLOGI Tipologi merupakan gaya atau corak yang dapat diamati melalui hasil gambar anak. Menurut Herbert Read, gambar anak berdasarkan gayanya dibedakan menjadi 12 macam, yaitu: 1. Organic Berhubungan langsung dengan objek nyata, lebih suka obyek dalam kelompok daripada tersendiri, sudah mengenal proporsi dan hubungan organis yang wajar. Ciri khususnya hanya terdapat satu unsur. 2. Lyrical (Liris) menggambar obyek realistis tetapi tidak bergaris. Obyek yang digambarkan statis dengan warna yang tidak mencolok. 3. Impressionism Mementingkan detail yang dilihat dari obyek. Di dalam gambar ini lebih diutamakan kesan “suasana”. 4. Rhytmical Pattern (Pola Ritmis) Menggambar pengulangan dari satu obyek yang dilihat. Sifatnya bisa organis atau liris dan selalu mengikuti pola umum (realistis). 5. Struktural Form (Bentuk yang bersusun) Objek mengikuti rumus ilmu bangun yang diperkecil menjadi satu rumusan geometris.

KONSEP SENI Bagian Ke-2

Aspek Fisik, Isi, Estetik dan Nilai Seni jika dipandang dari segi bentuk dan dimensinya terdapat karya seni dengan dua dimensi dan tiga dimensi. a. Pada karya dua dimensi, suatu yang nampak datar juga mempunyai kesan-kesan volume, kedalaman dan ruang, namun hanya tipuan pandang semata. Karya seni dua dimensi disebut semi visual, karena diserap oleh indra penglihatan. b. Karya seni tiga dimensi disebut juga karya seni spasial , karena terdapat tiga dimensi yang harus benar-benar diperhatikan. Dalam seni tiga dimensi, pelaku seni melibatkan indra gerak dan raba. Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikai