Naskah berikut ini merupakan rancangan pembicaraan pada Diskusi Panel, satu rangkaian dengan acara Pameran Seni Rupa Fitur dan Figur, 26 September 2014, di Taman Budaya Yogyakarta. Fitur dan Figur, merupakan pameran kelompok Perupa Palembang, di Yogyakarta. Tema Diskusi Panel adalah "Studio, Agen, dan Infrastruktur Seni", Narasumber: Kuss Indarto, Wahyudin, Jumaldi Alfi. Moderator: M. Yusuf Siregar (Ucok). Simak, Pengantar Diskusi Panel tersebut. Mari.
STUDIO, AGEN, DAN INFRASTRUKTUR SENI
Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
Studio merupakan ruang kerja, sebuah laboratorium tempat berpraktek. Jika milik perupa, maka studio merupakan ruang kerja dan ruang eksplorasi karya seni. Studio memiliki kecenderungan bersifat sebagai ruang tertutup bagi khalayak umum. Salah satu fungsi ruang studio, memungkinkan terjadinya dialog nyata atau dialog semu, dimana dapat pula terjadi interaksi dan percakapan-percakapan, yang akan memberikan masing-masing kepentingan saling bertemu. Selain eksplorasi karya seni (dialog semu), studio menjadi ruang interaksi dan negosiasi budaya, termasuk menentukan strategi dan mengatur administrasi. Komunikasi, sebagai elemen penting dalam kajian ruang, berstrukturisasi menjadi beraneka ragam wujudnya. Komunikasi sosial dan budaya, komunikasi ideologi, komunikasi ekonomi, dan komunikasi karya seni, adalah bentuk-bentuk beberapa interaksi yang terjadi, serta memberikan kesempatan bagi terciptanya ruang-ruang baru. Diciptakan dan dikondisikan suatu ruang (studio), adalah upaya untuk mengkategorisasi setiap kebutuhan dan kepentingan seseorang, agar tidak terjadi benturan kepentingan, termasuk memberikan penekanan fungsi utama didalamnya.
Proses karya cipta seni dilakukan pada ruang studio sebagai ruang pribadi, sebelum karya masuk pada ruang publik, atau ruang pamer, untuk di apresiasi oleh penonton. Nyaris semua seniman (khususnya perupa), memiliki konsep-konsep ruang kerja yang dinamakan studio, baik dalam skala paling sederhana, sampai memiliki manajemen dan administrasi yang profesional. Beberapa, bahkan menggunakan jasa agen (kurator, art broker, art dealer) untuk mempromosikan studio, yang sekaligus beralihfungsi sebagai ruang pamer, ruang diskusi, menjadi ruang transaksi yang terkesan menambah jalur baru perputaran dan penjualan karya seni. Pada ranah tersebut, studio mengambil langkah pintas, melakukan pemutusan rantai pemasaran, dengan meniadakan peran-peran agen lain, semacam galeri (atau ruang lelang), dan mencari para penonton (pembeli) secara langsung.
Studio sebagai Agen Pemasaran
Pada Buku Menimbang Ruang Menata Rupa: Wajah dan Tata Pameran Seni Rupa, pasar memiliki elemen pengertian yang luas. Dewasa ini muncul berbagai jenis pasar berdasarkan kelengkapan ruangnya: pasar fisik (studio perupa, galeri, art shop, rumah seni), pasar virtual (website perupa, organisasi, atau penjualan karya seni), dan pasar besar (megamarket, seperti balai lelang, pameran berkala internasional). Studio, dengan segala sifat komersilnya, akan melepaskan persoalan art for art, seni untuk seni, dan menjadi art for mart. Art for mart lebih cenderung mengarah pada pemasaran yang lebih umum, konsep inti pemasaran secara regular. Pasar terdiri dari semua pelanggan potensial yang sama-sama mempunyai kebutuhan atau lingkungan yang mungkin ingin dan mampu terlibat dalam pertukaran bukan hanya untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan, tetapi benar-benar menyenangkannya.
Dengan beraneka ragam bentuk pasar, memungkinkan seniman untuk tidak lagi menggunakan jasa-jasa agen semacam galeri. Termasuklah didalamnya dengan penciptaan ruang pamer alternatif sebagai ruang perlawanan atas kemapanan agen-agen pasar. Mendasar pada catatan Yaksa Agus, dilihat dari tahun 2000, tidak sedikit galeri-galeri komersial tumbuh-kembang dan tumbang di Yogyakarta: Dirix Gallery (2000-2002), Embun Gallery (2000-2001), Mien Gallery (2001-2002), Oktober Gallery (2001-2002), Galeri Pitoe (2003-2005) di tahun 2007 owner-nya membuat Srisasanti Gallery (2007-2009), V-Art Gallery (2007-2008), Ars Longa (2008), Tembi Contemporary (2007-2011). Nasib yang sama juga dialami oleh galeri milik ISI Yogyakarta, SMSR (SMK 3 Kasihan), FBS UNY, FBS Sarjana Wiyata, PPPG Kesenian, lebih cenderung mati suri, daripada berkiprah dalam peta pameran seni rupa. Tumbangnya eksistensi galeri pada kancah seni rupa (di Yogyakarta), pada aspek-aspek tertentu, sangat terkorelasi dengan berperan aktifnya studio-studio, sebagai efek dari dihadirkannya ruang pamer alternatif.
Menurut Yaksa, ruang seni semacam Taman Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Sangkring Art Space, Rumah Seni Cemeti, Tembi Rumah Budaya, Kedai Kebun Forum, Langgeng Art Foundation (LAF), dan Via-Via CafĂ©, lebih pada karya daripada galeri sebagai ruang seni yang “resmi”. Belum lagi, ruang pamer alternatif semacam alih fungsi ruang tamu, ruang kontrakan, garasi, warung kopi, dan kemunculan studio-studio, seperti: Gambsa Art Studio, Spirit Art Studio, Rumah Seni Muara, Kersan Art Studio, Karangduren Art Studio, atau jauh ke belakang lagi, ruang Rumah Seni Cemeti dan Sanggar Suwung, cukup menahan laju pertumbuhan dan berperan menumbangkan galeri-galeri yang katanya sudah mapan tersebut. Alasannya sangat sederhana, penggunaan ruang alternatif untuk berpameran, termasuk studio sebagai ruang pasar, adalah untuk mensiasati pembiayaan, menyesuaikan konsep-konsep pamer dengan karya yang diciptakan. Dimana ruang galeri biasanya lebih mahal dan terkadang tidak sesuai dengan konsep-konsep pamer merunut karya yang diciptakan seniman.
Lihat pula pandangan Kuss Indarto, bahwa pasar seni sangat mungkin dibentuk oleh sistem dan relasi (kekuasaan) yang terkonstruksi secara struktural, terjadi pada sebuah lembaga yang memiliki jaringan dan struktur yang tersistem dan terpola dengan baik. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk menopang pasar (seni) yang baik diperlukan infrastruktur dan suprastruktur yang saling mendukung. Studio (sebagai ruang pamer alternatif), tidak lagi sebagai ruang kerja atau berupa laboratorium yang sempit bagi seorang seniman, tetapi dimaknai dan dialihfungsikan sebagai ruang interaksi antara ruang pribadi dengan ruang publik (pasar). Dengan demikian, studio menjadi sangat penting bagi peta infrastruktur seni. Bahkan, studio sekalipun memiliki struktur-struktur sosial yang tidak sederhana, diluar studio terdapat relasi-relasi kekuasaan yang dijalin oleh seniman, konstruksi struktural yang baik, memberi ruang positif bagi pertumbuhan studi sebagai ruang pemasaran.
Beberapa faktor lain penggunaan studio sebagai ruang pamer alternatif, selain menyebut persoalan harga dan konsep ruang yang berbeda, diantaranya adalah keterbatasan ruang seni itu sendiri. Hal ini tentu tidak sebanding dengan jumlah perupa yang konon mencapai ribuan. Sama kasusnya, jumlah seniman tidak berbanding pula dengan ketersediaan pasar (kolektor, pembeli), sehingga ruang pamer alternatif (studio), tidak saja mensiasati pasar, tetapi dalam rangka mencapai keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sedikit. Selain menghadirkan ruang alternatif dengan cara unik. Melihat konsep pemasaran yang ditawarkan oleh Sharron Dickman sebagai suatu proses sosial yang didalamnya terdiri dari individu atau kelompok, untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan cara menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan nilai (tertentu) dengan pihak lain. Dengan konsep Dickman tersebut, memberikan ruang lebih dan bebas untuk mempertukarkan karya seni dengan nilai-nilai yang menguntungkan bagi para seniman.
Akan tetapi, sepakat dengan Yaksa Agus, bahwa ruang-ruang yang pernah ada, termasuk yang masih eksis sampai sekarang, memiliki sebuah kontribusi penting untuk keberlangsungan wacana seni rupa, dan memiliki kepantasan untuk dihormati. Keberadaannya tentu tetap memberikan dan mempunyai jasa besar pada sejarah seni rupa, apakah dicatat atau tidak dicatat oleh sejarah, sangat sederhananya hal tersebut tetap berada dalam ingatan para pelaku yang terlibat didalamnya.
Studio sebagai Infrastruktur Seni
Studio dan seniman (selain terdapat galeri, museum) merupakan infrastruktur fisik yang penting bagi keberlangsungan kehidupan seni di Indonesia. Jika pada skala yang lebih luas terdapat peran-peran lembaga negara, sebagai agen penjaga bagi keberlangsungan kehidupan mencipta karya seni.
Dalam catatan Jim Supangkat, tidak banyak museum di Indonesia yang representatif untuk dikaitkan dengan persoalan infrastruktur seni rupa. Dalam pengamatan Jim, diantaranya adalah: Galeri Nasional di Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota-tua Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (di mana terdapat koleksi Dewan Kesenian Jakarta), dan Museum OHD. Selanjutnya Jim juga menuliskan, bahwa Helena dan Renate melihat sejarah seni rupa dan museum adalah pilar-pilar infrastruktur seni rupa. Di sini sejarah seni rupa dan museum adalah institusi yang menentukan nilai-nilai bersejarah pada karya-karya seni rupa. Pada mulanya melalui penulisan sejarah seni rupa yang melakukan seleksi melalui kanon-kanon sejarah seni rupa (standar-standar untuk menentukan apakah sesuatu karya historically significant). Museum adalah sarana di mana karya-karya bersejarah disimpan, karena museum terbuka bagi masyarakat umum untuk dapat melihat (mengapresiasi) karya-karya besar yang dihimpun sejarah seni rupa.
Representatif, seperti yang dibicarakan oleh Jim, merupakan nilai-nilai standar (ilmiah) untuk memberikan batasan kelayakan tentang ruang (museum, galeri, atau studio) sebagai bagian infrastruktur seni rupa. Studio masuk pada wilayah apa yang disebut sebagai suatu institusi yang membentuk nilai-nilai bersejarah pada karya-karya seni rupa, sehingga studio memiliki peran penting, tidak saja sebagai ruang kerja seniman, melainkan juga untuk menciptakan sejarah-sejarah yang perlu dicatat dalam seni rupa Indonesia. Pada tahap studio pula, interaksi paling awal dilakukan oleh para seniman, pencarian dan pengakumulasian ide, proses intuisi dan interaksi, “berdiskusi” dan eksekusi karya, pada akhirnya melibatkan penonton sebagai apresian (perbincangan wacana dimulai).
Pada catatan Rifky Effendy terdeskripsi secara acak perkara pentingnya residensi (pembelajaran), untuk membangun infrastruktur seni di Indonesia. Seperti digambarkan oleh Rifky, salah satunya adalah mempelajari bagaimana galeri-galeri menempatkan studio sebagai ruang penting bagi seniman untuk mengembangkan potensi artistik (termasuk konsep-konsep berkarya) dan memperluas wawasan. Potensi tersebut, dapat digali melalui interaksi sosial (kepada masyarakat seniman dan sosial, sesama peserta residensi) dan kota sebagai sumber yang memberikan rangsangan bagi para seniman, untuk lebih mengaktifkan intuisi dan daya cipta seni. Beberapa seniman yang berhasil dalam residensi (seperti: Agus Suwage, Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Ade Darmawan, A.T. Christine, Eko Nugroho, Reza Asung Afisina, Agung Kurniawan), atau pada sejarah yang lebih tua, dapat menyimak cerita tentang Raden Saleh yang melakukan kegiatan semacam “residensi” diluar negeri. Setidaknya, hasil dari pembelajaran pada studio dan “studio” diluar, para seniman tersebutu memiliki konsep-konsep berkesenian terarah dan jelas, serta dianggap berpengaruh pada situasi dan kondisi berkarya seni di Indonesia.
Kasus yang dideskripsikan oleh Rifky Effendy, menunjukkan terjadi pembelajaran berarti bagi para seniman melalui studio. “Studio”, dalam skala besar (nonfisik) tidak melulu rujukan atas ruang-ruang sempit dan terbatas sesungguhnya, bahkan negara sekalipun, seperti: New York yang memiliki sejarah penting bagi pertumbuhan seni rupa dunia, dapat dijadikan sebagai ruang studio untuk berinteraksi estetik dan menciptakan karya seni. Seperti Affandi, yang selain memiliki studio dalam artian sesungguhnya, juga sering menjadikan alam (ruang terbuka) sebagai ruang kerja dan ruang belajar. Studio, baik fisik dan nonfisik, memberikan peluang bagi terciptanya berbagai macam karya seni. Simak saja, catatan Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini, menunjuk peran-peran studio sebagai muara dari terciptanya karya-karya seni yang bermutu. Jadi sangat layak, kalau kemudian studio merupakan infrastruktur seni yang penting bagi Indonesia, termasuk dunia.
RUJUKAN
Studio dan seniman (selain terdapat galeri, museum) merupakan infrastruktur fisik yang penting bagi keberlangsungan kehidupan seni di Indonesia. Jika pada skala yang lebih luas terdapat peran-peran lembaga negara, sebagai agen penjaga bagi keberlangsungan kehidupan mencipta karya seni.
Dalam catatan Jim Supangkat, tidak banyak museum di Indonesia yang representatif untuk dikaitkan dengan persoalan infrastruktur seni rupa. Dalam pengamatan Jim, diantaranya adalah: Galeri Nasional di Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota-tua Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (di mana terdapat koleksi Dewan Kesenian Jakarta), dan Museum OHD. Selanjutnya Jim juga menuliskan, bahwa Helena dan Renate melihat sejarah seni rupa dan museum adalah pilar-pilar infrastruktur seni rupa. Di sini sejarah seni rupa dan museum adalah institusi yang menentukan nilai-nilai bersejarah pada karya-karya seni rupa. Pada mulanya melalui penulisan sejarah seni rupa yang melakukan seleksi melalui kanon-kanon sejarah seni rupa (standar-standar untuk menentukan apakah sesuatu karya historically significant). Museum adalah sarana di mana karya-karya bersejarah disimpan, karena museum terbuka bagi masyarakat umum untuk dapat melihat (mengapresiasi) karya-karya besar yang dihimpun sejarah seni rupa.
Representatif, seperti yang dibicarakan oleh Jim, merupakan nilai-nilai standar (ilmiah) untuk memberikan batasan kelayakan tentang ruang (museum, galeri, atau studio) sebagai bagian infrastruktur seni rupa. Studio masuk pada wilayah apa yang disebut sebagai suatu institusi yang membentuk nilai-nilai bersejarah pada karya-karya seni rupa, sehingga studio memiliki peran penting, tidak saja sebagai ruang kerja seniman, melainkan juga untuk menciptakan sejarah-sejarah yang perlu dicatat dalam seni rupa Indonesia. Pada tahap studio pula, interaksi paling awal dilakukan oleh para seniman, pencarian dan pengakumulasian ide, proses intuisi dan interaksi, “berdiskusi” dan eksekusi karya, pada akhirnya melibatkan penonton sebagai apresian (perbincangan wacana dimulai).
Pada catatan Rifky Effendy terdeskripsi secara acak perkara pentingnya residensi (pembelajaran), untuk membangun infrastruktur seni di Indonesia. Seperti digambarkan oleh Rifky, salah satunya adalah mempelajari bagaimana galeri-galeri menempatkan studio sebagai ruang penting bagi seniman untuk mengembangkan potensi artistik (termasuk konsep-konsep berkarya) dan memperluas wawasan. Potensi tersebut, dapat digali melalui interaksi sosial (kepada masyarakat seniman dan sosial, sesama peserta residensi) dan kota sebagai sumber yang memberikan rangsangan bagi para seniman, untuk lebih mengaktifkan intuisi dan daya cipta seni. Beberapa seniman yang berhasil dalam residensi (seperti: Agus Suwage, Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Ade Darmawan, A.T. Christine, Eko Nugroho, Reza Asung Afisina, Agung Kurniawan), atau pada sejarah yang lebih tua, dapat menyimak cerita tentang Raden Saleh yang melakukan kegiatan semacam “residensi” diluar negeri. Setidaknya, hasil dari pembelajaran pada studio dan “studio” diluar, para seniman tersebutu memiliki konsep-konsep berkesenian terarah dan jelas, serta dianggap berpengaruh pada situasi dan kondisi berkarya seni di Indonesia.
Kasus yang dideskripsikan oleh Rifky Effendy, menunjukkan terjadi pembelajaran berarti bagi para seniman melalui studio. “Studio”, dalam skala besar (nonfisik) tidak melulu rujukan atas ruang-ruang sempit dan terbatas sesungguhnya, bahkan negara sekalipun, seperti: New York yang memiliki sejarah penting bagi pertumbuhan seni rupa dunia, dapat dijadikan sebagai ruang studio untuk berinteraksi estetik dan menciptakan karya seni. Seperti Affandi, yang selain memiliki studio dalam artian sesungguhnya, juga sering menjadikan alam (ruang terbuka) sebagai ruang kerja dan ruang belajar. Studio, baik fisik dan nonfisik, memberikan peluang bagi terciptanya berbagai macam karya seni. Simak saja, catatan Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini, menunjuk peran-peran studio sebagai muara dari terciptanya karya-karya seni yang bermutu. Jadi sangat layak, kalau kemudian studio merupakan infrastruktur seni yang penting bagi Indonesia, termasuk dunia.
RUJUKAN
Dickman, Sharron. 1997. Arts Marketing: The Pocket Guide. Australia, Victoria: Centre for Professional Development, Ltd.
Jim Supangkat, “(Infrastruktur, Museum, Sejarah) Seni Rupa Indonesia”, dalam http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=168
Kuss Indarto, “Kolektor Seni Rupa, OHD, dan Kuburan” dalam http://kuss-indarto.blogspot.com/2006/09/kolektor-seni-rupa-ohd-dan-kuburan.html.
Mikke Susanto, “Siasat Publik & Pasar: Mengenal Publik & Pasar serta Impetus Perubahannya”, dalam http://mikkesusanto.jogjanews.com/img/siasat_publik_1.pdf.
Mochtar Kusuma-Atmadja, dkk. 1990-1991. Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. Bandung: Panitia Pameran KIAS.
Rifky Effendy, “Residensi: Bentuk Infrastruktur Untuk Kepentingan Pasar Mutakhir”, dalam http://archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/Artikelresidensi08.pdf.
Yaksa Agus, “Ruang Pamer yang Tumbuh dan Runtuh di Yogyakarta” dalam http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=335.
Komentar
Posting Komentar