Naskah lengkapnya dapat dilihat pada Katalog Pameran Seni Rupa "Fitur dan Figur", yang akan dilaksanakan pada 25-29 September 2014, di Taman Budaya Yogyakarta. Jangan sampai kehabisan, Katalognya terbatas.
Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.comMengurai Teks Fitur dan Figur
Fitur dan Figur merupakan sekumpulan teks, sedangkan teks merupakan gagasan metafungsional, kumpulan makna ideasional, interpersonal, dan tekstual (M. A. K Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992: 66). Menurut Kridalaksana teks merupakan satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, berupa deretan kalimat, atau kata, membentuk ujaran; selain itu merupakan bentuk bahasa tertulis, dan dapat dikatakan pula sebagai naskah (Harimurti Kridalaksana, 1993: 212). Perwujudan teks pada Fitur dan Figur, salah satu dari jutaan tanda yang tidak berhenti dan tidak dapat dilihat dari tampilan kasat mata saja. Sebagai wujud visual teks, membawa bermacam-macam orientasi budaya, percakapan sosial dan keilmuan, ketakutan, kekhawatiran, atau kebahagiaan, serta berupa emosional mendasar dari para perupanya. Menterjemahkan karya seni, ibarat mengurai teks kuno yang perlu berbagai macam alat untuk melihatnya.
Teks-teks telah menembus batas-batas ruang dan waktu ketika membicarakannya. Didalamnya, terdapat konsep-konsep pikir teknologi, estetika, dialog ideologi dan budaya, serta tidak lepas dari persoalan spiritual dalam arti sebenarnya. Althusser berpendapat ideologi dibuat sebagai bagian dari proses sejarah dengan cara merekonstruksi, pada bagian luar intensionalitas siapa pun. Selain itu, ideologi disebarkan oleh apa yang disebut “aparatur negara ideologis” seperti: keluarga, gereja, sekolah dan berbagai bentuk ritual. Dalam masyarakat modern pembentukan ideologi pada seseorang, sekolah dan keluarga paling penting, termasuk adalah peran agama (Alan Barnard dan Jonathan Spencer (Eds), 1996: 369-370). Pembentukan ide penciptaan karya seni sekalipun, dapat bersumber pada apa yang disebut sebagai aparatur negara ideologis, unsur penting dari faktor agama, keluarga, sekolah, dan ritual sosial, memberikan ruang terbuka bagi pertemuan bermacam-macam ideologi, yang menghasilkan bermacam bentuk karya-karya seni rupa. Bahkan, pembacaan yang paling sederhana pada beberapa karya perupa Fitur dan Figur, secara general menampilkan persoalan-persoalan yang terjadi pada wilayah domestik, dan semacam ini sangat ilmiah.
Pembicaran yang melebar dan terkait dengan hal-hal diluar teks Fitur dan Figur, dapat dibicarakan pada wilayah apa yang disebut oleh Jacques Derrida sebagai grammatologi, ilmu-ilmu tentang gramma, huruf-huruf, tulisan, dan prasasti. Gramma adalah tanda (simbol) dari tanda, atau tanda yang mengacu dengan tanda lain (Jacques Derrida, 2002: 46). Tanda yang mengacu pada tanda lain, mengisyaratkan perlunya pendalaman makna-makna intertekstual pada kehadiran atau penampilan teks-teks. Kemampuan menterjemahkan teks-teks sangat dipengaruhi oleh pengalaman, ilmu pengetahuan, atau mengikat pada jenis teks yang akan diuraikan dalam bahasa teks lain. Pemahaman semiotik, yang banyak berkorelasi dengan tanda-tanda, atau dari sudut pandang ilmu pengetahuan lain, dapat merujuk pada keintertektualan teks-teks. Kategorisasi teks, baik dari segi visual, makna, atau ilmu analisis, merupakan upaya untuk mempermudah dalam usaha interpretasi. Seperti pembacaan yang dilakukan oleh Titik Pudjiastuti dalam usaha menguraikan teks-teks berdasarkan jenisnya, dimaksudkan sebagai langkah-langkah praktis untuk memahami, sekaligus wujud nyata adanya kategorisasi teks. Teks (yang dibicarakan sebagai naskah) yang dibahas oleh Titik adalah naskah-naskah yang berbicara tentang Palembang dari beberapa abad dan jenis kebudayaan (Titik Pudjiastuti, Tabloid Oncak, 2013: 4-6).
Jenis kategorisasi yang menjadi bahasan Titik, yaitu: (1) teks-teks astronomi, mengenai ilmu Falak dan pengetahuan tenang bulan dan tahun; (2) teks Bahasa, pembelajaran bahasa Arab dan Melayu; (3) teks Doa, menguraikan bacaan-bacaan doa dalam Agama Islam; (4) Teks Fiqih, tata aturan hukum dalam Agama Islam, berkaitan dengan ibadah; (5) teks Hadist, menguraikan hadist Nabi Muhammad SAW; (6) teks Hikayat, teks sastra yang berisi cerita; (7) teks Ilmu Kalam, tentang aqidah, tauhid, an sifat-sifat tuhan; (8) teks Obat-obatan, masalah pengobatan tradisional; (9) teks Primbon, berisi tentang mantra, tabir mimpi, ilmu perbintangan, masalah kemujuran dan kemalangan dalam hitungan tradisional; (10) teks Al-Quran, ayat-ayat Al-Quran; (11) teks Sejarah, cerita legendaris dan mitis; (12) teks Silsilah, silsilah Sultan Palembang dan tarekat di Palembang; (13) teks Surat, surat pribadi guru dan siswa, maupun surat resmi Sultan Palembang kepada Gubernur Hindia Belanda; (14) teks Syair, mengenai cerita yang diungkapkan dalam bentuk syair; (15) teks Tasawuf, tentang tasawuf; (16) teks Wayang, cerita wayang; (17) teks Lain-lain, yang tidak dapat masuk pada kelompok atas, misalnya kalender, cap, catatan harian, dan buku catatan nikah (Titik Pudjiastuti, Tabloid Oncak, 2013: 5). Kategorisasi teks secara langsung menunjuk alat bedah analisis yang harus digunakan, ketika teks-teks ingin diterjemahkan, sekaligus menunjuk ahli-ahli ilmu pengetahuan tertentu. Atau, sekaligus mengkategorikan dalam kelompok-kelompok pembaca atau peminat terhadap teks-teks.
Semangat zaman atau periodeisasi teks bahkan dapat dikatakan sebagai periode teknologi, kebudayaan, dan kondisi sosial masyarakat yang terlibat. Hal tersebut berlaku pada zaman-zaman keemasan masing-masing aliran karya seni rupa, setidaknya beberapa periode menunjuk nama, sekaligus akan menunjuk karya seni rupa yang dihasilkan. Dengan demikian, wajar saja, jika dikatakan bahwa teks merupakan perwajahan zaman-zaman pada kehidupan masyarakat sosial. Karya seni sebagai teks dibicarakan dengan beraneka ragam konteks, dalam balutan emosional, melibatkan beberapa ragam keilmuan, falsafah-falsafah kehidupan, secara mendasar tidak lepas upaya penyebaran informai dan ilmu pengetahuan. Atribut teks, menjadi penanda ideologi-ideologi yang berkembang pada kehidupan masyarakat sosial. Tidak terkecuali ketika dengan “santunnya” karya seni bersentuhan dengan teknologi, yang terkesan lebih murah, manja, massif, fleksibel, familiar, dan populer. Atas asumsi sederhana, pertemuan karya seni (termasuk teks) dengan teknologi mampu menembus ruang kewajaran (tanpa teknik yang njlimet) dan pemangkasan waktu, serta menghindari penggunaan biaya yang mahal. Kecanggihan teknologi, sangat memanjakan setiap manusia, tidak terkecuali para perupa, yang menghasilkan dan berpameran dengan teknologi. Bahkan, dengan teknologi pulalah terjadi generalisasi teks-teks yang menjadi sepadan dan tidak sulit penyampaiannya.
Membahas Fitur dan Figur menjadi semakin menarik dengan menghadirkan fenomena aktifitas sosial manusia melalui teks-teks. Rangkaian dan kumpulan ide-ide yang bersumber pada konteks sosial menjadi sumber informasi yang penting, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan ide penciptaan karya seni. Karya seni sebagai teks-teks berhasil menyampaikan pada setiap level kehidupan sosial budaya masyarakat, manakala kebutuhan dan kepentingan teks dijadikan tidak lagi sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai pusat penggalian informasi. Karya seni rupa adalah sekumpulan teks-teks yang mampu mengurai dan mengurasikan setiap kejadian yang tertangkap pada fenomena sosial, dan dihadirkan secara lengkap dan aktual. Diperkuat peran-peran media dan iklan-iklan, semakin mendorong manusia lain untuk terlibat aktif dengan setiap lingkaran produksi karya seni. Bahkan, karya seni dapat dijadikan semacam kitab ensiklopedia yang penting, ketika harus memilah dari setiap pilihan-pilihan yang hadir di ranah sosial. Teks memberikan kepuasan secara psikologi, untuk mengkonstruksi setiap kebutuhan dan dijadikan titik awal buat berpijak.
Perjalanan peserta pameran Fitur dan Figur menghadirkan karya seni, merupakan perwujudan teks-teks yang dapat menggambarkan secara sempurna setiap kejadian penting dalam kehidupan manusia; sejarah, ilmu pengetahuan ilmiah, bahkan cara berpikir dan bertindak pun dapat ditanamkan melalui jalinan teks-teks karya seni rupa. Menghegemoninya teks pada level sosial budaya masyarakat, karena diposisikan secara penting dalam setiap persentuhan dan pergaulan manusia, sehingga apa yang menjadi kebutuhan manusia dapat terjawab dengan melihat teks. Teks harus dilihat dalam kacamata yang luas, tidak hanya melihatnya dari sudut visual ilmu-ilmu tulis dan aksara semata, bahkan teks merupakan perwujudan tutur lisan, video dan film, serta gambar-gambar, mampu memberikan transformasi informasi kepada manusia lain yang membutuhkan.
Fitur dan Figur sebagai Simbol-simbol
Terlepas peralihan karya seni menjadi sebuah komoditi pasar, tidak dapat dilepaskan dari persoalan simbol-simbol, atau tanda, atau penanda, yang menunjuk dalam pada gagasan cipta para perupa. Simbol seperti sebuah benda dengan banyak pengertian, sehingga setiap orang dapat secara bebas menterjemahkan simbol-simbol pada karya seni. Sekali lagi, setiap perbedaan sangat ditentukan oleh pengalaman dan apa yang dilihat pada masa lalu. Oleh karenanya, Fitur dan Figur melalui pembicaraan visual merupakan akumulasi simbol, yang entah berdasar kesepakatan makna atau pun berdasarkan logika yang berbeda, dapat diterjemahkan sebagai pemilihan kesenangan satu objek diantara jutaan objek yang ada di muka bumi, yang pada akhirnya diberikan nilai-nilai baru, sekehendak hati atau berdasarkan retorika teori-teori yang mungkin terpendam pada relung hati para perupa. Kebebasan untuk senang terhadap simbol (pada karya seni), seperti menentukan pilihan akan dibentuk apa gaya rambut, di model seperti apa gaya baju, atau pun, sekritis apa tulisan yang dihasilkan. Itulah kesenangan, yang tidak dapat pula harus diatur-atur harus senang apa, bagaimana cara harus bersenang-senang, atau pun kapan harus bersenang-senang. Senang ibarat sebuah ungkapan ekspresi atas nafsu tentang sesuatu, menyenangi adalah perkara rasa dan psikologi.
Ketika terjadi upaya memahami simbol-simbol, perlu diketahui bahwa didalamnya sebetulnya terdapat situasi apa yang disebut sebagai interaksionisme simbolik. Menurut Bodgan dan Taylor, teori interaksionisme simbolik dapat dikatakan sebagai pendekatan penting dari fenomenologi, dimana orang senantiasa berada dalam sebuah proses interpretasi dan definisi, karena harus terus menerus bergerak dari satu situasi ke situasi lain. Sebuah fenomena akan bermakna apabila ditafsirkan dan didefinisikan (Imam Suprayogo dan Tabroni, 2001: 105). Interaksi karya seni pada Fitur dan Figur, dengan mengundang para penonton, adalah salah satu proses untuk menciptakan komunikasi positif, sedangkan untuk terjadi komunikasi yang baik, diperlukan unsur seniman, media (karya seni), dan penonton (apresian). Penafsiran merupakan proses menjelaskan fenomena-fenomena yang dihadirkan pelaku seni ke dalam sebuah karya seni, selanjutnya dialihbahasakan oleh pakar.
Dasar pemikiran lain dari teori interaksionisme simbolik menganggap bahwa manusia adalah makhluk pencipta, pengguna serta pembuat simbol (tidak hanya para seniman). Semua yang dilakukan menggunakan simbol dan dengan simbol ini manusia dapat saling berinteraksi. Istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antarmanusia, seperti: interaksi yang terjadi pada karya Fitur dan Figur kepada para penonton. Kekhasannya terletak pada manusia yang saling menterjemahkan dan mendefiniskan tindakannya (Ngurah Aditya, perpustakaanstahdnj.blogspot.com). Antarmanusia sebagai bagian dari dinamika kebudayaan, melakukan perang terbuka melalui simbol-simbol, atau saling melakukan intimidasi dengan simbol-simbol tertentu. Simbol yang diciptakan sebagai upaya mendeklarasikan kepentingan pribadi (atau pun kelompok, atau industri), sangat berpotensi untuk menciptakan kecederungan, kecintaan, dan penghujatan. Pada sisi lain, interaksi antarsimbol memungkinkan terciptanya kondisi psikologis yang kurang berperan dalam penentuan tindakan-tindakan sebagai presentasi sebenarnya seorang pribadi di suatu bagian masyarakat.
Menurut Raymond Firth (1973), simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau penggugah kepatuhan sosial, selain sebuah simbol terkadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individualitas, walaupun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas. Hampir semua karya seni melakukan upaya-upaya tertentu, sebagai mediator untuk penyampaian pesan-pesan. Seperti karya Yarno, yang menyampaikan persoalan kritik-kritik sosial tentang pemanasan global, atau penyempitan ruang terbuka (ruang publik) pada karya Suparyanto dan Riduan. Telaah pula karya Dedy Sufriadi yang cenderung “keras” atas eksploitasi aksara, juga tidak berarti sederhana sebagai teks-teks mati.
Victor Turner (1969) membedakan antara simbol dan tanda. Dalam simbol-simbol terdapat semacam kemiripan (bersifat metafora atau bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai kemiripan seperti itu. Tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang dominan, dan dirinya sendiri bersifat “terbuka” secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap. Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahana simbolis yang lama. Setiap individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum sebuah simbol. Pada aspek tertentu, karya seni dapat pula sangat sederhana, dengan simbol-simbol yang sederhana. Karya Nurmili Sani contohnya, dengan simbol-simbol populer (visual bunga), lebih memberi ruang terbuka untuk melepaskan pemahaman sederhana terhadap bunga. Dengan demikian, terdapat kebebasan bagi perupa untuk menentukan simbol, sekaligus maknanya.
Sama dengan faham karya perupa umumnya, Fitur dan Figur mengajak manusia selalu berpikir dalam upaya menterjemahkan dan berinteraksi dengan simbol-simbol, menterjemahkan dimensi-dimensi pikir yang melekat pada karya seni sebagai petuah-petuah. Pada satu sisi lain, keterbukaan ruang simbol akan menggiring adanya interaksi untuk berperan dan mendominasi daya imaji seseorang (seniman, kreator, budayawan, atau ilmuwan), sehingga apa yang tersaji pada ranah baru, dapat dikatakan sebagai konstruksi ulang baru, yang terkadang bersifat kliping, atau kumpulan simbol. Tentu seseorang akan berpendapat berbeda dan semakin sederhana dalam memahami simbol, jika berpikir tentang simbol yang diarahkan pada peringkat-peringkatnya. Seperti yang digagas oleh Ida Bagus Gede Yudha Triguna (2000), bahwa ada empat peringkat simbol, yaitu: pertama, simbol konstruksi yang berbentuk kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama; kedua, simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sarat dengan nilai, norma dan aturan; ketiga, simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya; dan keempat, simbol ekspresi berupa pengungkapan perasaan. Simbol-simbol diklasifikasikan pada empat kelompok, untuk memudahkan pemahaman tentang simbol-simbol yang diciptakan dan diinteraksikan pada manusia. Upaya pemahaman simbol, dapat bermulai pada seberapa senang untuk memahami simbol itu sendiri, rekam jejak pengetahuan berfungsi untuk mempermudahkan dalam pemahaman.
Didalam simbol itu sendiri, terdapat kesepakatan-kesepakatan tanda, untuk memudahkan penerima tanda, yang disimbolkan sesuatu. Dapat berwujud kode-kode, ucapan, gerak tubuh, gerak mata, gambar visual, dan tulisan, yang disepakati dengan pembelajaran, generalisasi, atau kesepakatan sosial dengan sendirinya. Kesepakatan tersebut menjadi penting pada satu situasi pembacaan simbol tertentu. Kesepakatan dapat dicontohkan sebagai diterimanya suatu simbol-simbol tertentu, yang dianggap mewakili golongan atau kelompok. Misalnya logo dan warna pakaian pahlawan super, simbol dan faham pada partai politik, atau abstraksi warna sebagai simbol-simbol yang merepresentasikan kemarahan, kecemburuan, atau kebahagiaan. Simbol menjadi bahasa paling universal, diantara bahasa-bahasa yang ada di dunia.
Apa yang dibahas Supadiyanto mengenai teori simbol Sussane K. Langer, bahwa konsep adalah makna yang disepakati bersama di antara pelaku komunikasi. Maka dalam konteks ini, makna yang disepakati bersama disebut makna denotatif, sedangkan makna pribadi (subjektif) disebut makna konotatif. Secara lebih komprehensif, Langer memandang makna sebagai sebuah hubungan kompleks di antara simbol, objek dan manusia melibatkan makna denotatif dan konotatif (Fajar Agustyono, pewarta-indonesia.com). Fitur dan Figur tidak selalu berbicara konotatif, pada beberapa karya rupa dapat digunakan kacamata denotatif. Seperti sketsa Syahrizal Pahlevi, sederhana, spontan, dan merupakan pencerminan situasi yang sesungguhnya.
Interaksi Sosial Fitur dan Figur
Fitur dan Figur ini merupakan cara pandang para perupa Palembang terhadap karya seni yang diciptakan, melalui proses intuisi, pereleksian, atau eksplorasi (meneliti). Tidak dapat diabaikan begitu saja, bahwa masa lalu para perupa Palembang, memberikan hasrat-hasrat yang menyelubungi ketika menciptakan karya seni. Demikian, ketika para perupa ini menterjemahkan Fitur dan Figur. Fitur diserap dari bahasa Inggris (feature), yang dimaknai sebagai suatu aspek, kualitas atau ciri yang menonjol, sedangkan figur secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai bentuk dan wujud. Keberadaan fitur dan figur ini, sebenarnya bukan pula sesuatu yang baru, keduanya telah bersentuhan dengan kehidupan sosial dan budaya, pada saat munculnya pilihan-pilihan tentang sesuatu. Dalam rangka memilah dan memilih fitur ataupun figur menjadi penting untuk dihadirkan sebagai konsekuensi logis untuk menjawab persoalan-persoalan sosial budaya yang akrab dengan manusia. Kenapa fitur menjadi penting, sehingga dapat menghapus keraguan pada beraneka ragam pilihan tentang figur? Apakah figur tentang sesuatu, atau difigurkan oleh komunitas sosial, mampu memberikan kebenaran hakiki mengenai kerancuan asumsi tentang pertalian kepentingan personal dan komunitas dikarenakan lemahnya fitur-fitur? Lemahnya figur, kemungkinan besar bertalian merah dengan kurangnya fitur-fitur yang mengikat dan menguatkan posisi kefiguran seseorang di mata komunitas atau orang lain. Figur yang ideal diibaratkan sebagai sekumpulan fitur-fitur yang lengkap, canggih, familiar, akrab, atau bahkan secara mendasar ia haruslah menyenangkan dan memuaskan.
Memang, kefiguran dapat dibentuk secara instant dan dengan sedikit polesan fitur-fitur yang populer, memberikan ranah yang luas bagi berkembangnya kepentingan-kepentingan. Dengan sedikit makeup yang dilakukan seperangkat media, figur dapat menjadi sesuatu yang diidolakan. Sesuatu yang buruk sekalipun, dapat difigurkan secara indah oleh seperangkat media, sehingga nilai-nilai ini menjadi absurd untuk dibicarakan dalam konteks kebenaran mutlak. Figur yang mutlak kebenarannya, akan berubah bertolak belakang menjadi tersangka, dengan sedikit polesan dan kamuflase melalui media-media. Bukan perkara sulit lagi untuk memberikan citra-citra negatif atau positif tentang sesuatu, termasuk mencari-cari nilai kefiguran pada seseorang. Figur ibarat induk kebendaan, yang kemudian diserahkan sepenuhnya pada seseorang untuk melengkapi fitur-fitur sesuai dengan hasrat-hasrat. Masyarakat sosial, seperti anak yang kehilangan induknya, ketiadaan figur yang betul-betul disegani pada tatanan bernegara dan bermasyarakat, menjadikan iklim sosial budaya di Indonesia semakin panas. Koruptor yang menggurita, pecinta janda yang semakin gila, kekuasaan hukum semakin berpihak ketajamannya, munculnya hakim-hakim dan raja-raja kecil, yang mengisyaratkan figur-figur mumpuni semakin jauh dari masyarakat. Figur itu ada, tetapi fiturnya tidak sesuai dengan harapan untuk menjawab kebutuhan masyarakat sosial di Indonesia.
Siapapun pelakunya, ketika mengetengahkan sesuatu atau seseorang figur dalam visualisasi pikiran, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencari dukungan tentang figur yang dikagumi. Figur ini dapat berevolusi menjadi tubuh, rangkaian dan jalinan teks-teks, sekumpulan simbol, emosi-ekspresi garis, atau percakapan-percakapan warna. Elemen figur adalah fitur. Figur yang dihadirkan pun tidak selalu dikagumi dengan fitur-fitur yang menyenangkan, bahkan pilihan lain atas kebusukan, kenaifan, atau kepalsuan fitur pada figur dihadirkan atas dasar kritik-kritik sosial. Bagaimanapun, menghadirkan figur-figur adalah hak mutlak seniman atas dasar hasrat-hasrat yang dibalut dengan pemikiran, konsep, misi visi, bahkan dengan harapan-harapan. Sehingga, ketika karya berbicara melalui figur-figur, tidaklah berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian proses yang tidak akan terlepas pula dari hal-hal fenomenal, keseharian, sosial, pengamatan, atau saling tarik menarik dengan hasrat-hasrat untuk menjadikan diri personal sebagai figur yang sempurna di mata masyarakat sosial.
Tidak salah juga jika ada yang menyempitkan wilayah figur pada label ketubuhan seutuhnya. Selain memang secara kebendaan, figur haruslah berwujud. Tubuh itu sendiri telah menjadi benda popular yang telah dikaji dan direpro dalam hitungan jutaan kali. Telah disandingkan dengan kebudayaan tertua di muka bumi, disandingkan dengan bermacam nilai-nilai, etika, moral, tentang psikologi, kimia, dan beraneka ragam tema ketubuhan lainnya. Menariknya, atas konsep-konsep personal seniman, tubuh ini direpro dan dikatakan sebagai sesuatu yang original, baik secara ide, teknik, bahkan hal yang terkait didalamnya. Tubuh yang difigurkan dengan nilai-nilai memberikan peluang masuknya kebermanfaatannya pada sisi lain, ekonomis misalnya. Tentu bukan hal baru, tubuh-tubuh ini menjadi konsumsi sah bagi orang lain. Figur ini merupakan faham kebentukan dan keberwujudan, bukan berada pada wilayah konsepsi-konsepsi, melainkan dapat digambarkan secara kasat mata, minimal dapat dideskripsikan. Demikian pula dengan fitur, yang memiliki kriteria-kriteria, sehingga sesuatu yang divisualkan, bukan berhenti dan selesai pada visual mati saja, tetapi muara pertemuan ide-ide perupa dengan dunia baru. Penonton, pengamat, kurator, kolektor, bahkan transformasi gagasan menjadi bahasa teks atau verbal, merupakan bagian dari dunia baru ini.
Fitur adalah semacam atribut yang tugasnya tidak hanya melengkapi, melainkan memberikan aspek-aspek pendalaman makna, materi, atau percakapan dengan kadar ilmiah yang logis, sehingga memberikan ruang-ruang pembanding tentang sesuatu. Ketiadaan fitur dapat melemahkan teori atau suatu karya seni yang mengkonstruksi ikatan-ikatan pemikiran lain. Fitur ini ibarat suatu aksesori, yang tidak hanya untuk menghias, tetapi memberikan pemaknaan yang lebih terhadap benda-benda atau orang yang menggunakan perhiasan. Jika pada suatu faham, fitur ini menjadi nilai-nilai mendasar, atau dapatlah disebut sebagai ideologi, dikarenakan ada nilai-nilai yang menjadi pedoman dan mencirikan ciri khusus. Jika melihat konsep Hegelian, bahwa ideologi merupakan produk kebudayaan dari suatu masyarakat, dan manifestasi kenyataan sosial. Fitur-fitur ini berkorelasi dan menjadi aspek nilai yang bersumber pada kesepakatan pemikiran masyarakat, serta mampu menopang keberadaan benda-benda yang dilengkapi, semacam figur misalnya.
Pada ranah yang sempit, pencitraan figur juga muncul melalui pemikiran-pemikiran masyarakat seniman. Sebutlah satu komunitas diantara ratusan lainnya sebagai para perupa Sumatera Selatan, yang menjelajah alam seni rupa di Yogyakarta. Figur dan fitur-fiturnya yang hadir melalui buah karya, selalu berkorelasi atas pencarian-pencarian yang belum selesai. Hal ini, bukan untuk menjadikan figur yang lengkap dengan fitur sempurna sebagai tujuan akhir, tetapi bagaimana figur ini dihadirkan sebagai proses dinamika “peperangan” dan penjelajahan untuk memberi ruang bernafas bagi kehidupan seni rupa masyarakat-masyarakat Melayu di tanah Jawa. Pencarian figur dan fitur merupakan proses panjang yang tidak selalu berujung menyenangkan. Sosok figur yang hampir hadir dalam setiap buah pemikiran perupa, adalah gambaran pilihan-pilihan figur dengan fitur ideal yang dijadikan sebagai idola secara sadar atau tidak, dan tentunya inilah refleksi alam bawah sadar mengenai hal-hal figur dengan fitur-fitur ideal.
Figur adalah simbol yang salah satunya berbicara tentang nilai-nilai, etika, moral, bahkan keyakinan yang dipahami berbeda-beda bagi setiap orang, melalui perwujudan nyata. Didalamnya terdapat hak-hak mendasar milik setiap orang untuk memilih figur, yang boleh jadi tidak dapat dipaksakan sama terhadap makna-makna atas adanya figur. Paling tidak, terdapat tawar-menawar kepentingan atas figur-figur tertentu. Bagi perupa Sumatera Selatan di Yogyakarta, figur menjadi sesuatu yang ekslusif dan terpilih, dihadirkan sebagai bentuk refleksi keseharian, tentang kekaguman, kecintaan, motivasi, serta beraneka ragam latar belakang pembentukan visual. Figur haruslah plural dan tidak saja berlaku makhluk hidup semata, benda sekalipun, dapat dijadikan sebagai sebuah figur. Idealisme dan akumulasi ide-ide personal menjadi terasa lebih berbicara, ketika pilihan-pilihan atas figur ini diketengahkan sebagai suatu produk berkesenian dengan bangunan dan fondasi kehabitusannya. Tentu, Fitur dan Figur harusnya dilengkapi dengan untaian habitus, yang sebetulnya saling terhubung sebagai konstruksi karya seni seniman. Karakteristik atau ciri khas yang menjadi penanda karya perupa Palembang, tidak dapat dibaca sebagai sebuah keseragaman, bukan kehegemonian yang muncul dari komunitas Palembang. Justru progresifitas pencitraan fitur dan figur menjadi suatu percakapan yang menarik dan panas untuk diperdebatkan. Banyak hal yang membuktikan, bahwa keanekaragaman karakter karya para perupa, salah satunya disebabkan belum usainya pencarian figur-figur, serta tidak akan lepas pula dalam rangka mencitrakan fitur dan figur.
Demikian.
Memang, kefiguran dapat dibentuk secara instant dan dengan sedikit polesan fitur-fitur yang populer, memberikan ranah yang luas bagi berkembangnya kepentingan-kepentingan. Dengan sedikit makeup yang dilakukan seperangkat media, figur dapat menjadi sesuatu yang diidolakan. Sesuatu yang buruk sekalipun, dapat difigurkan secara indah oleh seperangkat media, sehingga nilai-nilai ini menjadi absurd untuk dibicarakan dalam konteks kebenaran mutlak. Figur yang mutlak kebenarannya, akan berubah bertolak belakang menjadi tersangka, dengan sedikit polesan dan kamuflase melalui media-media. Bukan perkara sulit lagi untuk memberikan citra-citra negatif atau positif tentang sesuatu, termasuk mencari-cari nilai kefiguran pada seseorang. Figur ibarat induk kebendaan, yang kemudian diserahkan sepenuhnya pada seseorang untuk melengkapi fitur-fitur sesuai dengan hasrat-hasrat. Masyarakat sosial, seperti anak yang kehilangan induknya, ketiadaan figur yang betul-betul disegani pada tatanan bernegara dan bermasyarakat, menjadikan iklim sosial budaya di Indonesia semakin panas. Koruptor yang menggurita, pecinta janda yang semakin gila, kekuasaan hukum semakin berpihak ketajamannya, munculnya hakim-hakim dan raja-raja kecil, yang mengisyaratkan figur-figur mumpuni semakin jauh dari masyarakat. Figur itu ada, tetapi fiturnya tidak sesuai dengan harapan untuk menjawab kebutuhan masyarakat sosial di Indonesia.
Siapapun pelakunya, ketika mengetengahkan sesuatu atau seseorang figur dalam visualisasi pikiran, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencari dukungan tentang figur yang dikagumi. Figur ini dapat berevolusi menjadi tubuh, rangkaian dan jalinan teks-teks, sekumpulan simbol, emosi-ekspresi garis, atau percakapan-percakapan warna. Elemen figur adalah fitur. Figur yang dihadirkan pun tidak selalu dikagumi dengan fitur-fitur yang menyenangkan, bahkan pilihan lain atas kebusukan, kenaifan, atau kepalsuan fitur pada figur dihadirkan atas dasar kritik-kritik sosial. Bagaimanapun, menghadirkan figur-figur adalah hak mutlak seniman atas dasar hasrat-hasrat yang dibalut dengan pemikiran, konsep, misi visi, bahkan dengan harapan-harapan. Sehingga, ketika karya berbicara melalui figur-figur, tidaklah berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian proses yang tidak akan terlepas pula dari hal-hal fenomenal, keseharian, sosial, pengamatan, atau saling tarik menarik dengan hasrat-hasrat untuk menjadikan diri personal sebagai figur yang sempurna di mata masyarakat sosial.
Tidak salah juga jika ada yang menyempitkan wilayah figur pada label ketubuhan seutuhnya. Selain memang secara kebendaan, figur haruslah berwujud. Tubuh itu sendiri telah menjadi benda popular yang telah dikaji dan direpro dalam hitungan jutaan kali. Telah disandingkan dengan kebudayaan tertua di muka bumi, disandingkan dengan bermacam nilai-nilai, etika, moral, tentang psikologi, kimia, dan beraneka ragam tema ketubuhan lainnya. Menariknya, atas konsep-konsep personal seniman, tubuh ini direpro dan dikatakan sebagai sesuatu yang original, baik secara ide, teknik, bahkan hal yang terkait didalamnya. Tubuh yang difigurkan dengan nilai-nilai memberikan peluang masuknya kebermanfaatannya pada sisi lain, ekonomis misalnya. Tentu bukan hal baru, tubuh-tubuh ini menjadi konsumsi sah bagi orang lain. Figur ini merupakan faham kebentukan dan keberwujudan, bukan berada pada wilayah konsepsi-konsepsi, melainkan dapat digambarkan secara kasat mata, minimal dapat dideskripsikan. Demikian pula dengan fitur, yang memiliki kriteria-kriteria, sehingga sesuatu yang divisualkan, bukan berhenti dan selesai pada visual mati saja, tetapi muara pertemuan ide-ide perupa dengan dunia baru. Penonton, pengamat, kurator, kolektor, bahkan transformasi gagasan menjadi bahasa teks atau verbal, merupakan bagian dari dunia baru ini.
Fitur adalah semacam atribut yang tugasnya tidak hanya melengkapi, melainkan memberikan aspek-aspek pendalaman makna, materi, atau percakapan dengan kadar ilmiah yang logis, sehingga memberikan ruang-ruang pembanding tentang sesuatu. Ketiadaan fitur dapat melemahkan teori atau suatu karya seni yang mengkonstruksi ikatan-ikatan pemikiran lain. Fitur ini ibarat suatu aksesori, yang tidak hanya untuk menghias, tetapi memberikan pemaknaan yang lebih terhadap benda-benda atau orang yang menggunakan perhiasan. Jika pada suatu faham, fitur ini menjadi nilai-nilai mendasar, atau dapatlah disebut sebagai ideologi, dikarenakan ada nilai-nilai yang menjadi pedoman dan mencirikan ciri khusus. Jika melihat konsep Hegelian, bahwa ideologi merupakan produk kebudayaan dari suatu masyarakat, dan manifestasi kenyataan sosial. Fitur-fitur ini berkorelasi dan menjadi aspek nilai yang bersumber pada kesepakatan pemikiran masyarakat, serta mampu menopang keberadaan benda-benda yang dilengkapi, semacam figur misalnya.
Pada ranah yang sempit, pencitraan figur juga muncul melalui pemikiran-pemikiran masyarakat seniman. Sebutlah satu komunitas diantara ratusan lainnya sebagai para perupa Sumatera Selatan, yang menjelajah alam seni rupa di Yogyakarta. Figur dan fitur-fiturnya yang hadir melalui buah karya, selalu berkorelasi atas pencarian-pencarian yang belum selesai. Hal ini, bukan untuk menjadikan figur yang lengkap dengan fitur sempurna sebagai tujuan akhir, tetapi bagaimana figur ini dihadirkan sebagai proses dinamika “peperangan” dan penjelajahan untuk memberi ruang bernafas bagi kehidupan seni rupa masyarakat-masyarakat Melayu di tanah Jawa. Pencarian figur dan fitur merupakan proses panjang yang tidak selalu berujung menyenangkan. Sosok figur yang hampir hadir dalam setiap buah pemikiran perupa, adalah gambaran pilihan-pilihan figur dengan fitur ideal yang dijadikan sebagai idola secara sadar atau tidak, dan tentunya inilah refleksi alam bawah sadar mengenai hal-hal figur dengan fitur-fitur ideal.
Figur adalah simbol yang salah satunya berbicara tentang nilai-nilai, etika, moral, bahkan keyakinan yang dipahami berbeda-beda bagi setiap orang, melalui perwujudan nyata. Didalamnya terdapat hak-hak mendasar milik setiap orang untuk memilih figur, yang boleh jadi tidak dapat dipaksakan sama terhadap makna-makna atas adanya figur. Paling tidak, terdapat tawar-menawar kepentingan atas figur-figur tertentu. Bagi perupa Sumatera Selatan di Yogyakarta, figur menjadi sesuatu yang ekslusif dan terpilih, dihadirkan sebagai bentuk refleksi keseharian, tentang kekaguman, kecintaan, motivasi, serta beraneka ragam latar belakang pembentukan visual. Figur haruslah plural dan tidak saja berlaku makhluk hidup semata, benda sekalipun, dapat dijadikan sebagai sebuah figur. Idealisme dan akumulasi ide-ide personal menjadi terasa lebih berbicara, ketika pilihan-pilihan atas figur ini diketengahkan sebagai suatu produk berkesenian dengan bangunan dan fondasi kehabitusannya. Tentu, Fitur dan Figur harusnya dilengkapi dengan untaian habitus, yang sebetulnya saling terhubung sebagai konstruksi karya seni seniman. Karakteristik atau ciri khas yang menjadi penanda karya perupa Palembang, tidak dapat dibaca sebagai sebuah keseragaman, bukan kehegemonian yang muncul dari komunitas Palembang. Justru progresifitas pencitraan fitur dan figur menjadi suatu percakapan yang menarik dan panas untuk diperdebatkan. Banyak hal yang membuktikan, bahwa keanekaragaman karakter karya para perupa, salah satunya disebabkan belum usainya pencarian figur-figur, serta tidak akan lepas pula dalam rangka mencitrakan fitur dan figur.
Demikian.
SUMBER TULISAN:
Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Barnard, Alan and Jonathan Spencer (Eds). 1996. The Routledge Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. New York: Routledge, Second Edition, 1996.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Penerbit Niagara.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Derrida, Jacques. 2002. Dekonstruksi Spiritual. Yogykarta: Penerbit Jalasutra, Cetakan Ke-2, 2002.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. London, New York: Verso.
Firth, Raymond. 1973. Symbols: Public and Private. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Book, Inc., Publisher.
Harimurti Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-3.
Hart, W.D. “Dualism”, dalam Samuel Guttenplan, ed. 1996. A Companion to the Philosophy of Mind. Oxford: Blackwell.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme.
http://perpustakaanstahdnj.blogspot.com/2012/10/teori-simbol.html.
http://www.pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/supadiyanto/10270-teori-simbol-susanna-langer-the-part-of-semiotic-theory.html.
Ida Bagus Gede Yudha Triguna. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma.
Imam Suprayogo dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
M. A. K Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks (Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Moore, Jerry D. (Eds)., 2009. Visions of Culture: An Annotated Reader. New York, UK: AltaMira Press.
Morris, Desmond. 2002. Peoplewatching: The Desmond Morris Guide to Body Language. London: Vintage Books.
Titik Pudjiastuti, “Memandang Palembang dari Khasanah Naskah”, dalam Tabloid Oncak, No. 003/Tahun II/Februari 2013.
Turner, Victor. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine.
Komentar
Posting Komentar