Mewacanakan Identitas Joko “Gundul” Sulistiono dan Edo Pop
denijusmani@gmail.com
Saya kira, pameran seni rupa "Next Pict: The Series" adalah satu diantara puluhan, bahkan ratusan kegiatan seni yang dilakukan oleh Joko dan Edo. Mungkin mendekati kepastian, masyarakat seni, kecuali rekan sejawat yang dekat, tidak kenal dengan nama Joko Sulistiono atau Eduard sebagai nama yang "diresmikan" dan menjadi nama KTP bagi Joko dan Edo. Sehingga, Gundul dan Edo Pop jelas menjadi nama atas sebuah identitas sosial yang dengan sengaja dihadirkan oleh Joko dan Edo pada masyarakat publik. Boleh jadi, Gundul ini adalah karakter fisik dan gaya Joko, yang kemudian menjadi penanda identitas kehadirannya di kancah seni rupa Indonesia. Atau Edo Pop yang merupakan rekayasa citra dari seorang Eduard sebagai upaya membayangkan produk-produk seni bernuansa pop art. Pastinya, Gundul dan Edo Pop tidak dapat diremehkan kehadirannya dalam pertarungan posisi dan dinamisnya seni rupa di Indonesia.
Identitas, yang kemudian masuk bingkai padat pada ranah ideologi, diberikan embel-embel wilayah yang luas dalam penjabaran dan pemaknaan. Orang dapat mengatakan hal tersebut sebagai gaya, ciri, tanda, penanda, atau lebih ekstrim sebagai perwajahan emosional konstruktif. Nama adalah penanda dan sesuatu yang penting, baik untuk menandai benda, identitas tempat, kelompok, masyarakat, bangsa, atau pun manusia sekalipun. Identitas bukan segalanya yang mampu mewakili dan hadir sebagai wakil atas kepentingan, tetapi terdapat beberapa nilai yang dapat dijadikan rujukan awal dan seharusnya tidak berhenti pada satu penanda saja. Identitas yang dikarakterkan atau merujuk pada sesuatu fenomena, membicarakan dan muncul sebagai tanda sebuah budaya, atau menjadi gaya “tetap” seorang kreator seni, bukanlah akhir dari pertarungan dan percakapan kreativitas.
Identitas pada wilayah lain dapat dibicarakan sebagai suatu trademark, wilayah-wilayah yang juga menggagas tentang tanda. Pelanggaran dengan label trademark pulalah seringkali menuju ranah-ranah hukum, ketika seseorang atau sekelompok orang merasa terganggu atas kemiripan, penggunaan karakter, perebutan eksistensi, atau pun kegaduhan dalam persoalan-persoalan yang menjadi identitas.
Gundul dalam balutan semiotik, dapat diinterpretasikan lebih dari hal fisik (tidak memiliki rambut) saja. Gundul boleh diterjemahkan sebagai kegersangan, kehampaan, dan tidak memiliki rasa. Ya, Gundul yang dulu itu adalah Robot dan pandangan Joko tentang dehumanisasi akibat mesin, dulu, dapat disaksikan pada karya-karya seninya. Karya robot dalam Manusia Baru masih dapat dilacak keberadaannya, setidaknya obrolan kultur hedonisme dan konsumtivisme tetap dirasakan ketika menyimak karya-karya yang dihasilkan sampai saat ini. Gundul, boleh saja tidak memiliki rambut, tetapi sebagai seniman ia peduli atas hadirnya serangan teknologi atas hasrat-hasrat untuk merobotkan manusia.
Tengok pula, karya Edo Pop yang menurut cerita kurator, terdiri atas teknik-teknik gores atau coret sederhana (tekstur semu) dan lukis realistik, dan dituduhkan pula rajin tampil dengan persoalan domestiknya. Karya-karya Edo seharusnya nge-Pop, jika tidak, bukan Edo Pop. Pop tidak harus melulu merujuk Pop yang sesungguhnya diepidemikan oleh Barat, Pop di Indonesia haruslah berasa Timur. Edo secara sengaja atau tidak sengaja menghadirkan sosok dan tubuh perempuan dalam karya seni yang dihasilkan, dan boleh jadi ini Pop rasa Indonesia. Ingat, hal ini merupakan hukum relasi sosial dan habitus, yang seringkali diobrolkan oleh Edo sendiri kepada orang-orang disekitarnya. Terdapat hubungan sosial, hubungan masa lalu, dan intensitas pergaulan dengan keluarga, yang mendorong akumulasi dan intuisi seni Edo merujuk pada Perempuan. Saya kira, karya Edo adalah bentuk ilmiah dari sebuah penelitian yang rumit. Joko juga sama. Secara memang, mereka adalah sahabat yang luar biasa dekat. Tetapi percayalah, identitas karya Joko dan Edo tidak sesederhana yang dituduhkan oleh para pembaca karya seni.
Mengkomunikasikan dan memapankan identitas tidak selalu harus dengan bentuk, ciri, karakter, gaya, atau berangkat pada mitos-mitos, terkadang perlu diberikan ruang alternatif yang berbeda, sehingga alternatif-alternatif inilah yang menjadi penanda. Toh, situasi dan pergerakan modal (pasar) tidak selalu stabil merujuk pada penanda tetap, kecuali hal tersebut memang dipertahankan dan ditetapkan untuk tidak berubah dan disepakati bersama oleh kelompok “pencipta” gagasan.
Untuk membaca wacana Joko dan Edo, silahkan simak acara "Next Pict: The Series" Sabtu, 11 Oktober 2014, Pukul 19.00 wib di Albert Art Gallery, Jalur Sutera Kav. 16 A, No. 7, Alam Sutera, Serpong 15325, Telepon (021) 29211635, 5673528.
Selain Joko dan Edo, masih terdapat beberapa perupa dengan identitas yang penting bagi perhelatan seni rupa Indonesia, sebut saja: Bambang “Benk” Pramudyanto, Budi “Ubrux” Haryono, F. Sigit Santoso, Heri Dono, M. Lugas Syllabus, Nasirun, dan termasuk Melodia. Selamat bergembira.
Komentar
Posting Komentar