Langsung ke konten utama

STRUKTUR RUANG PUBLIK:



ACARA JOGJA FASHION WEEK CARNIVAL DAN PAMERAN PAKAIAN COSPLAY DI YOGYAKARTA

denijusmani@gmail.com

Konsep ruang publik yang ideal tidak saja berbicara kepentingan golongan atau komunitas tertentu, tetapi lebih fokus pada wadah aktifitas sosial yang mewakili setiap pendatang atau penonton. Termasuk didalamnya adalah aktifitas seni dan budaya, walaupun konsep ruang publik masih dapat dikatakan abstrak untuk mewakili setiap individu sosial. Akan tetapi dengan adanya ruang publik, telah menciptakan ruang mediasi bagi segala macam bentuk komunikasi. Ruang mediasi ini dipandang penting, tidak saja dijadikan ranah promosi, lebih mendalam adalah untuk bertukar dan bersinerginya segala macam bentuk ideologi, kesenian, dan kebudayaan. Aktifitas seni semacam Jogja Fashion Week Carnival dan pagelaran pakaian cosplay pada ruang publik memberikan kesempatan bagi komunitas atau individu, untuk menjadikan aktifitas ini sebagai tontonan dan bagian seni publik. Seni publik ini tentu saja lebih cenderung lebih kreatif, bebas, dan terkadang tidak diiringi dengan perspektif teoretis, seperti yang dilakukan seni lainnya. Aktifitas seni pada ruang publik, merupakan bagian dari aktifitas sosial dan budaya, hakikatnya berdiri pada ideologi yang telah diatur untuk satu kepentingan, yang disebarluaskan menggunakan media massa dan iklan. Penonton atau masyarakat penikmat seni pada ruang publik, harus lebih cerdas dan kritis untuk menerima segala macam bentuk sajian aktifitas seni, sehingga sajian tersebut memiliki komunikasi yang seimbang.

A. Pengantar
Ruang publik merupakan tempat berinteraksinya segala macam aktifitas sosial, pertukaran budaya, dan mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan. Dalam gagasan Roger Scurton (1984) setiap ruang publik dapat dikatakan sebagai sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat interaksi manusia/pengguna. Sebagai sebuah tempat, ruang publik dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, kesepakatan, dan termasuk didalamnya adalah saling berkomunikasi antara beberapa kepentingan. Aktifitas sosial yang terjadi pada ruang publik tidak terbatas pada kepentingan kelompok saja, tetapi meliputi beberapa pihak.

Manajemen dan pengelolaan yang baik mengenai ruang publik, tidak saja akan berpengaruh baik pada perkembangan dan eksistensi seni, tetapi memiliki pengaruh penting terhadap stabilitas keamanan, perekonomian, politik, sosial, dan budaya. Bagi wadah aktifitas dan kreativitas berkesenian, ruang publik merupakan tujuan akhir dalam mencipta karya seni. Dengan kata lain, pada ruang publik inilah seorang kreator seni di uji kemampuan untuk bertahan terhadap beberapa pertalian pelik dari mempromosikan eksistensi diri kepada lingkungan diluar seniman. Mencipta pakaian karnaval dalam kemasan acara Jogja Fashion Week Carnival (JFWC), tidak persoalan mengemas bahan kain atau limbah menjadi sebuah pakaian yang indah dan menarik untuk di tonton. Tidak juga dapat dikatakan sederhana dan asal mencontoh saja, pada saat seorang atau komunitas cosplayer mencipta pakaian cosplay yang ide-ide mendasarnya tidak terlepas dari dunia animasi. Ada gagasan yang hendak dibicarakan. Terdapat beranekaragam maksud terselubung dalam setiap pakaian seni yang diciptakan, tidak terkecuali pada pakaian JFWC dan pakaian cosplay.

Menurut beberapa filsuf, ruang merupakan realitas fisik yang tidak dapat dipengaruhi oleh benda-benda yang ada didalamnya atau oleh bagaimana benda tersebut dipahami. Jurgen Habermas menjelaskan, bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Pandangan ini hendaknya dipahami sebagai sebuah gagasan, dengan menggunakan kemasan karya seni tertentu, akan dikomunikasikan pada orang lain. Gagasan ini tidak dapat dijustifikasikan langsung pada persoalan positif ataun negatif, melainkan perlu diperhatikan atas dasar apa, bagaimana, dan dimana gagasan ini dikomunikasikan. Ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti: fasilitas umum, gedung pertemuan, lapangan, mall, swalayan, warung-warung, dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Pada prinsipnya, ruang publik tidak saja bersifat fisik pada beberapa contoh, tetapi dapat berwujud nonfisik, seperti: media massa, baik cetak mau pun elektronik. Tepatlah dikatakan, bahwa ruang publik adalah sebuah ruang untuk saling berinteraksinya antara beberapa kepentingan.

Ruang publik memungkinkan terjadinya pertukaran dan pembauran beberapa sumber kebudayaan. Acara JFWC dan pagelaran pakaian cosplay yang dikelola oleh beberapa komunitas, organisasi, dan pemerintah daerah Yogyakarta, tidak hanya dikonsep untuk hobi atau kesenangan saja. Misalkan padaJFWC, acara ini selalu berupaya untuk turut serta memajukan industri pakaian yang terpuruk oleh banjirnya produk luar. Selain promosi batik sebagai produk tradisi, seringkali pakaian karnaval ini dibuat dengan memanfaatkan limbah-limbah yang diolah kembali menjadi seperangkat pakaian seni. Demikian juga dengan pakaian cosplay, oleh kreator Yogyakarta, dibuat pakaian cosplay yang bernuansa tradisi dan kebudayaan Indonesia. Pada akhirnya, pakaian seni telah aktif dalam mempromosikan pada ruang publik mengenai legenda dan mitologi Jawa pada masyarakat umum.

Acara JFWC dan pameran pakaian cosplay tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan peran serta media massa, iklan, dan penonton. Hubungan yang saling menguntungkan ini terjalin menjadi sebuah kesepakatan, yang jika tidak terpenuhi pertalian relasi tersebut, akan menghasilkan ketimpangan dalam pelaksanaannya. Media massa dan iklan digerakkan dengan menggunakan mesin dan teknologi untuk menghasilkan tenaga maksimal. Teknologi mesin, seperti televisi, menunjukkan adanya jalinan emosional yang melibatkan aktifitas seni dan penonton. Bahwa aktifitas seni dan televisi terdiri atas unsur-unsur yang saling membutuhkan, demikian pula dengan peran penonton.
 
B. Pemerintah dan Privatisasi Ruang Publik 
 
Berbicara mengenai privatisasi ruang publik, seolah langsung menunjuk kepemilikan ada di tangan pemerintah. Hal ini sangat beralaskan, untuk menghindari kepemilikan ruang publik untuk pihak lain yang akan mengkomersialisasi, walaupun kadang pemerintah sendiri yang melakukannya. Penataan ruang publik di Yogyakarta, tidak terlepas dari kepemilikan ruang publik itu sendiri. Misalkan pada Benteng Vredeburg, Kawasan Malioboro, Gedung Taman Budaya Yogyakarta, merupakan tempat-tempat yang dikelola oleh pemerintah. Pada perkembangan selanjutnya, terjadi privatisasi pada fasilitas-fasilitas umum lainnya, yang berujung pada pembatasan ruang publik untuk masyarakat pengguna. Terjadi kepemilikan-kepemilikan ruang publik bagi lembaga atau perusahaan yang memiliki modal, untuk kepentingan komersialisasi. Ketika ruang publik sudah diprivatisasi dan dijadikan tempat untuk meraup keuntungan, maka apa yang diharapkan terhadap ruang publik sebagai tempat muara segala aktifitas masyarakat itu tidak mungkin.

Privatisasi ruang publik yang dilakukan kelompok tertentu, merupakan sebuah ancaman besar bagi masyarakat. Ruang dimana dapat bebas berekspresi, berinteraksi, dan bermain akan semakin terbatas di Yogyakarta, yang ada tempat berinteraksi yang terbatas. Jika berbicara pada konsep ruang publik sebagai fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat berinteraksi, misalkan semacam taman kota, atau tempat-tempat umum yang nonkomersial, akan sedikit di jumpai di Yogyakarta. Ketika ruang publik digunakan secara besar-besaran, saat terjadi karnal, maka dapat dipastikan akan mengesampingkan kenyamanan pengguna ruang publik lainnya.

Privatisasi terhadap ruang publik merupakan usaha yang dilakukan pemerintah, tentu akan membatasi masyarakat dalam mengakses ruang publik. Pemerintah seharusnya memaksimalkan fungsi dan manajemen ruang publik secara baik, tidak menjadikannya sebagai lahan bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Ruang publik mampu menciptakan karakteristik dan ciri khas dari masyarakat kota tertentu. Tidak tersedianya atau kurang layaknya ruang-ruang publik untuk masyarakat, akan menciptakan masyarakat maverick yang nonkonformis, individualis, asosial, dan anggota-anggotanya tidak akan mampu berinteraksi dengan baik. Ruang publik harus bersifat netral, tidak berpihak pada salah satu kepentingan, dan tidak bersifat membatasi kepentingan kelompok lain.

Interaksi sosial masyarakat melalui beberapa aktifitas sosial dan seni pada ruang publik, sebetulnya sangat berperan untuk menciptakan kondisi sosial masyarakat yang stabil. Tersedianya ruang publik yang memadai untuk acara JFWC, pameran pakaian cosplay, dan aktifitas berkesenian lainnya, sebagai bagian tugas pemerintah untuk melayani masyarakat, tentu pada akhirnya berdampak positif juga untuk kepentingan pemerintah. Aktifitas sosial dan seni dapat dijadikan sebagai aset utama untuk mendatangkan wisatawan, pembeli, pemodal, dan penonton, yang tidak akan terlepas dari proses untuk memperkenalkan budaya lokal (legenda dan mitologis Jawa) kepada masyarakat lainnya. Memang untuk penyelenggaraan acara JWFC terlepas dari privatisasi ini, karena penggunaan fasilitas ruang publik masih dalam batasan normal, tetapi juga mengabaikan pengguna ruang publik lainnya. Ketika karnaval berlangsung, tentu pengguna jalan raya akan terganggu kenyamanan dalam berkendara. Seharusnya pemerintah memberikan lahan yang cukup untuk acara karnaval, sehingga tidak menggeser kepentingan masyarakat lainnya.

Aktifitas seni (JFWC dan pakaian cosplay) tidak dapat dikatakan sebagai sebuah acara yang mengabaikan kepentingan masyarakat lain, bagaimanapun juga aktifitas ini adalah bagian dari usaha untuk menghibur dan memberikan pelayanan umum untuk masyarakat. Pengadaan dan pengelolaan ruang publik yang baik, akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat, bahkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi rakyat. Di Yogyakarta masih memungkinkan untuk tersedianya fasilitas ruang publik yang baik, jika dikelola dengan baik dan profesional berdasarkan kepentingan bersama.

C. Aktifitas Seni, Media Massa, dan Ruang Publik

Bruce Robbins mengkonsep ruang publik sebagai tempat terjadinya pembicaraan orang-orang, tempat bertemunya ide dan gagasan. Interaksi manusia ini merupakan bagian kehidupan masyarakat, seperti halnya terjadi pada media massa. Akan tetapi di sisi lain, media massa jelas memainkan peran sentral dalam ruang publik, bahkan hanya di media massa bahwa sebagian besar populasi orang dapat datang secara bersama-sama untuk bertukar ide. Aktifitas seni sebagai sumber penting media massa, dapat dijadikan barometer untuk mengukur manajemen yang baik pada ruang publik. Semakin besar dan maksimal ruang publik pada media massa, semakin menunjukkan keberpihakan terhadap aktifitas-aktifitas seni yang ada disekitarnya. Aktifitas seni, media massa, dan ruang publik, ibarat hubungan antara seniman dan penonton, tanpa pertalian keduanya, maka karya seni akan mati.

Televisi sebagai media massa elektronik, tidak saja mampu menciptakan tren-tren sosial, tetapi mampu memenuhi setiap hasrat masyarakat untuk kebutuhan informasi, hiburan, dan kepentingan lain. Televisi mempunyai kekuatan untuk membuat, menghasilkan, dan memanipulasi sejarah. W.T. Anderson menyebutkan peristiwa ini sebagai peristiwa semu, karena tidak pernah spontan, tetapi direncanakan dengan tujuan untuk disajikan kepada penonton secara massal. Televisi dapat disebut sebagai teks-teks sosial yang tidak saja menembus batas-batas privasi, tetapi lebih mampu menghasilkan kemufakatan untuk lebih dalam mempengaruhi ideologi dan cara pandang seseorang. Sebagai sebuah sarana informasi untuk segala macam aktifitas, termasuk didalamnya adalah berkesenian, televisi akan lebih efektif dalam usaha untuk promosi, termasuk adanya kegiatan JFWC dan pagelaran pakaian cosplay.

Setiap media massa memiliki kemampuan dan tujuan untuk “berinteraksi” dengan pembaca atau penonton, tidak menutup kemungkinan saling berbagi informasi mengenai kepentingan masing-masing. Media adalah sebuah sarana yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, menyimpan dan menyajikan beraneka ragam informasi, dan terkadang mampu melayani kepentingan-kepentingan yang saling berkomunikasi. Ruang publik pada media massa, dapat dijadikan sebagai ruang diskusi, ruang pertukaran cara pandang untuk menerima, mengolah, dan menyelesaikan situasi kondisi sosial. Selain sebagai sebuah ruang mati, ruang publik pada media, dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk saling terlibat dalam menjaga warisan-warisan budaya dan tradisi dalam kancah nasional. Dengan memperhatikan kepentingan bersama, acara JFWC merupakan milik seluruh masyarakat yang mencintai kesenian, budaya, dan warisan tradisi. Karena tema yang selalu diketengahkan adalah situasi dan kondisi sosial masyarakat Jawa, dalam kemasan legenda atau pun mitologi Jawa.

Perkembangan dan perubahan struktur pada kehidupan sosial di Yogyakarta, berhubungan erat juga aktifitas seni, yang tentunya juga mendapat dukungan dari media massa. Isu-isu politik dan kebudayaan yang up to date pada media massa, memiliki benang merah pada beberapa aktifitas mencipta karya seni pada kreator. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, tidak dapat dipandang ringan pada keberlangsungan nasib ruang publik dan aktifitas berkesenian. Penyelenggaraan acara JFWC dan pagelaran pakaian cosplay, sedikitnya memberikan petunjuk tentang eksistensi sebuah aktifitas berkesenian. Media massa sebagai ruang publik massal, harus berperan dalam menghadirkan informasi aktifitas seni ini pada ruang-ruang pribadi, sehingga terjalin hubungan erat beberapa pihak yang sebetulnya memang saling menguntungkan.
 
D. Peran Penonton, Aktifitas Seni, dan Iklan pada Ruang Publik
 
Jika melihat teori tentang kode ruang, dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: ruang pribadi, ruang publik, dan ruang sakral. Ruang pribadi mengikat aturan cara interaksi pada wilayah personal, sedangkan ruang sakral mengatur interaksi di tempat mengandung unsur kualitas metafisik, mistis, atau spritual. Ruang publik didirikan dengan maksud sebagai tempat berkumpulnya beberapa orang bertujuan untuk hiburan, rekreasi, perayaan, atau pun untuk tujuan lainnya. Untuk tujuan mendasar yang sama saja, ruang publik mampu menarik hati masyarakat, yaitu: untuk saling berinteraksi. Dapat berupa hiburan, percakapan biasa, bermain bersama, diskusi, atau pun sekedar bertamasya bebas untuk mencapai kesenangan hati.

Penonton hadir dalam acara-acara pertunjukan, aktifitas seni lainnya, bertujuan untuk mendapatkan hiburan, salin berinteraksi dengan orang lain, bertukar pengalaman, dan saling memberi informasi. Acara JFWC dan pameran pakaian cosplay yang diselenggarakan oleh panitia di Yogyakarta, tentu saja merupakan sajian yang menarik untuk di tonton oleh masyarakat umum, apalagi bagi mereka yang mencintai dunia mode dan pakaian. Penyederhanaan dari interaksi beberapa pihak adalah sebuah komunikasi, yang tidak lain adalah pertukaran informasi. Para penonton bukan saja berfungsi sebagai konsumen, tetapi memiliki hak untuk mendapatkan sajian-sajian yang bermutu.

Penonton dapat dijadikan sebagai lawan interaksi, saling berkomunikasi, untuk mendapatkan evaluasi-evaluasi yang diperlukan untuk menilai dan memperbaiki kualitas satu aktifitas seni atau pun satu bentuk karya seni. Penonton seharusnya dipahami sebagai produsen aktif, dilihat konteks pada mereka membaca teks, baik dalam hal yang berarti konstruksi dan rutinitas kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pada sifat penonton, dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu penonton aktif dan penonton pasif. Pandangan penoton pasif menyatakan, bahwa orang dengan mudah dipengaruhi secara yang langsung oleh media, sedangkan pandangan penonton aktif adalah orang-orang yang membuat keputusan-keputusan lebih aktif tentang bagaimana menggunakan media. Teori masyarakat massa cenderung untuk menganut pada konsep pasif, walaupun tidak semua teori penonton pasif dapat secara sah disebut teori masyarakat massa. Sebaliknya, masyarakat memiliki kecenderungan menganut paham aktif.

Media komunikasi lainnya, sebagai perpanjangan tangan produsen adalah iklan. Iklan ini akan memberikan fasilitas seluas-luasnya bagi produsen untuk mempengaruhi dan mengajak orang lain, sesuai dengan tujuan pembuatan iklan. Acara JFWC dan pagelaran pakaian cosplay, sekiranya tidak menggunakan peran iklan, tentu tidak akan mampu memberi daya tarik lebih pada orang lain. Iklan memiliki sifat propaganda, walaupun secara mutlak tidak dapat disamakan. Harold D. Laswell dalam Nurudin, menjelaskan propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya. Selain itu, tidak lebih sebagai kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti, melalui sebuah cerita atau bentuk lain yang dapat digunakan dalam komunikasi sosial. Sebetulnya, peran propaganda ini sangat penting, tidak saja untuk mempengaruhi orang lain dengan tujuan mendatangkan massa atau penonton untuk hadir dalam acara JFWC dan pagelaran pakaian cosplay, tetapi lebih ditekankan pada menyampaikan tujuan utama penyelenggaraan kegiatan. Dengan teknik propaganda yang baik, persoalan yang diusung dalam kemasan tema ketradisian, dapat disampaikan dengan tepat.

Periklanan memili tiga kategori utama, yaitu: periklanan untuk konsumen (untuk promosi produk), periklanan untuk dagang (publikasi untuk perdagangan), dan periklanan untuk politik-sosial (mengiklankan pandangan). Periklanan terkait erat dengan perdagangan, pemasaran. Pada acara JFWC dan pameran pakaian cosplay, mencakupi ketiga faktor utama dalam periklanan ini. Pertama, acara JFWC dan pameran pakaian cosplay diselenggarakan bertujuan untuk mempromosikan desain-desain baru yang dihasilkan oleh desainer, memiliki nilai jual dalam membantu perkembangan industri pakaian. Kedua, acara ini diselenggarakan sedikit banyaknya bersifat komersil, walaupun pakaian yang dipromosikan memerlukan perlakuan dan waktu yang khusus, tetapi unsur promosi untuk dagang ini lebih menunjuk nama desainer atau institusi pemilik desain pakaian yang dipamerkan. Ketiga, dalam acara ini memiliki tujuan lain untuk mempromosikan pandangan, gagasan, dan nilai-nilai lain (nasihat, petunjuk) yang bersumber pada legenda dan mitologi Jawa pada beberapa karya desain pakaian JFWC dan pakaian cosplay.

Ruang publik sebagai bagian dari masyarakat umum, digunakan untuk mempromosikan produk-produk pakaian dalam acara JFWC dan pagelaran pakaian cosplay. Hadirnya penonton pada ruang publik untuk melihat dan menikmati aktifitas seni yang diselenggarakan, adalah bukti keberhasilan iklan yang sifatnya mempengaruhi orang lain. Pada sisi lain, dibutuhkan kerjasama beberapa pihak untuk menciptakan ruang publik yang betul-betul tidak berpihak pada privatisasi golongan dan komersialisasi.

E. Penutup

Ruang publik adalah pertemuan berbagai macam interaksi budaya dan ideologi, transaksi perdagangan, pertukaran ide, dan sumber-sumber hiburan bagi masyarakat sosial. Ruang publik seharusnya tidak berpihak pada kelompok-kelompok sosial tertentu, tidak dikomersialisasikan, dan terbebas dari segala sikap melecehkan kelompok lain. Penyelenggaraan aktifitas seni, seperti acara JFWC dan pameran pakaian cosplay pada ruang publik, memiliki struktur-struktur yang berperan sebagai alat promosi, perdagangan, dan memberikan informasi mengenai tradisi-tradisi lokal. Pengelola ruang publik, baik dari pemerintah atau pun pemilik pribadi, memiliki kewajiban untuk melayani penonton/masyarakat dengan sajian acara yang menarik, bermutu, bernilai edukasi, dan tidak melanggar kode-kode etik kelompok lain. Aktifitas seni, kreator, media, iklan, dan penonton, merupakan bagian penting untuk menciptakan ruang publik yang positif. Pengelolaan dengan sistem yang tertata dengan baik, akan menghasilkan ruang publik menyenangkan untuk masyarakat sosial di Yogyakarta.


KEPUSTAKAAN

Cavallaro, Dani. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2001.

Barker, Chris. The SAGE Dictionary of  Cultural Studies. London: Sage Publications, 2004.
Danesi, Marcel. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory. Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc., 2004.
Goode, Luke. Jürgen Habermas: Democracy And The Public Sphere. London: Pluto Press, 2005.
Lacey, Nick. Media Institutions and Audiences: Key Concepts in Media Studies. New York: Palgrave, 2002.
McGuigan, Jim. Culture and The Public Sphere. New York: Routledge, 1996.
Mckee, Alan. The Public Sphere: An Introduction. Cambridge, New York: Cambridge University Press, 2005.
Nurudin. Komunikasi Propaganda. Bandung: Penerbit PT. Rosdakarya, 2001.
Robbins, Bruce. The Phantom Public Sphere. Minneapolis And London: University Of Minnesota Press, 1993.
Ruddock, Andy. Understanding Audiences: Theory and Method. London: Sage Publications, 2001.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apresiasi dan Interpretasi Karya Seni

APRESIASI Feldman (1967) dan Smith (1967) mengelompokkan aktivitas apresiasi seni berdasarkan kepada proses persepsi dan intelektual melalui empat tahap, yaitu:  a. Menggambarkan  Mengamati hasil karya seni dan menggambarkan sifat-sifat yang terlihat, seperti: warna, garis, bentuk, rupa, tekstur, bidang, ruang, jalinan dan elemen-elemen gubahan yang termasuk sebagai prinsip dan struktur. Menggambarkan pada ranah lain dapat disebut sebagai mendeskripsikan tentang suatu bentuk atau tema dari sebuah gambar ekspresi. Menggambarkan dapat dilihat sebagai usaha untuk membaca hasil dari aktivitas anak-anak ketika menceritakan sesuatu kepada orang lain melalui karya seni.  b. Menganalisa  Menganalisa hubungan sifat-sifat tampak seperti unsur-unsur seni, prinsip, dan stuktur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: menganalisa kualitas ekspresif, seperti: mood dan suasana; menguraikan gaya suatu karya. Beberapa bagian karya gambar ekspresi akan menampilkan r

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK A. TIPOLOGI Tipologi merupakan gaya atau corak yang dapat diamati melalui hasil gambar anak. Menurut Herbert Read, gambar anak berdasarkan gayanya dibedakan menjadi 12 macam, yaitu: 1. Organic Berhubungan langsung dengan objek nyata, lebih suka obyek dalam kelompok daripada tersendiri, sudah mengenal proporsi dan hubungan organis yang wajar. Ciri khususnya hanya terdapat satu unsur. 2. Lyrical (Liris) menggambar obyek realistis tetapi tidak bergaris. Obyek yang digambarkan statis dengan warna yang tidak mencolok. 3. Impressionism Mementingkan detail yang dilihat dari obyek. Di dalam gambar ini lebih diutamakan kesan “suasana”. 4. Rhytmical Pattern (Pola Ritmis) Menggambar pengulangan dari satu obyek yang dilihat. Sifatnya bisa organis atau liris dan selalu mengikuti pola umum (realistis). 5. Struktural Form (Bentuk yang bersusun) Objek mengikuti rumus ilmu bangun yang diperkecil menjadi satu rumusan geometris.

KONSEP SENI Bagian Ke-2

Aspek Fisik, Isi, Estetik dan Nilai Seni jika dipandang dari segi bentuk dan dimensinya terdapat karya seni dengan dua dimensi dan tiga dimensi. a. Pada karya dua dimensi, suatu yang nampak datar juga mempunyai kesan-kesan volume, kedalaman dan ruang, namun hanya tipuan pandang semata. Karya seni dua dimensi disebut semi visual, karena diserap oleh indra penglihatan. b. Karya seni tiga dimensi disebut juga karya seni spasial , karena terdapat tiga dimensi yang harus benar-benar diperhatikan. Dalam seni tiga dimensi, pelaku seni melibatkan indra gerak dan raba. Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikai