Naskah ini dimuat pada Jurnal Panggung, Jurnal Ilmiah Seni dan Budaya, Volume 24 Nomor 1 Maret 2014.
PAKAIAN COSPLAY YOGYAKARTA:
Bentuk Fantasi dan Ekspresi Desain Masa Kini
denijusmani@gmail.com
Costume, dress code, animation, comics, legends, and manga, are inseparable parts of the cosplay costume. Those parts give fantasy and digital world discourse through costume style. Its spiritual domain stands on Japanese culture by being cultured through clothing. One of them, cosplay ideology, reflects the self-imaging through social communities, as an effort for group and self-existence. Cosplay entity bridges fantasy and real world, presents designers’ expressions through the costume designs to show. This writing will be analyzed by using the main theories based on Dewitt H. Parker point of view, in The Principles of Aesthetics, which divides principles of aesthetics into three, they are: Principle of Organic Unity, Principle of Dominant Element, and Principle of Balance. Principle of organic unity indicates that cosplay clothing is an accumulation of design elements, to refer and mark a figure. Principle of dominant element, is accentuation, or the center of interest of a cosplay clothing design. Principle of balance, see placement and setting ornamentation applied to cosplay clothing.
Keywords: cosplay clothing, principles of aesthetics, costume style, Yogyakarta.
PENDAHULUAN
Perbincangan pakaian cosplay bukan perkara baru dalam dunia peragaan pakaian, dan sebagai wujud seni kontemporer, cosplay adalah perwajahan seni rupa yang saling berbaur antara ekspresi, desain, rumus form follow function, budaya popular, dan konsumerisme, bahkan posmodernisme. Cosplay adalah seni bermain peran menggunakan media pakaian, dengan konsep, ruang, waktu, tempat, dan tujuan tertentu. Perkembangan dan eksistensi cosplay teradobsi dengan sempurna, manakala keinginan bergaya dalam berpakaian muncul pada salah seorang pelaku budaya. Perihal pakaian ini juga merupakan persoalan yang paling banyak berpengaruh pada dimensi sosial dari sejak zaman renaisans. “Dengan melihat cara berpakaian, maka akan diketahui sejarah dan latar belakang kebudayaan yang melekat pada pakaian yang digunakan seseorang” (Lars Svendsen, 2006: 7).
Gagasan tentang cosplay muncul sekitar tahun 1960-an di Stasiun Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo, dan telah mengalami perkembangan yang luar biasa, selain sebagai produk budaya, juga merupakan pembentukan seni dengan misi kebudayaan dan iklan. Pakaian cosplay ini berkorelasi erat dengan Harajuku style, memberikan nuansa perdebatan wacana mengenai transformasi ide-ide berpakaian yang bersumber pada tokoh-tokoh film animasi dan manga Jepang. Ide tersebut divisualisasikan dalam wujud pakaian (kontemporer) yang bertema tokoh atau kondisi tertentu, dengan melakukan akulturasi berbagai jenis budaya, menghasilkan kostum-kostum yang ekspresif. Cosplay, yang secara harfiah dipahami cos/costume= pakaian/kostum, play= bermain atau melakukan kegiatan mengisi waktu luang, merupakan suatu wadah yang disiapkan bagi kelompok-kelompok yang ingin berekpsresi melalui media pakaian.
Ideologi cosplay adalah menampilkan identitas “saduran” melalui pakaian, memiliki tema, dan akrab dengan budaya konsumerisme, tidak terkecuali di Yogyakarta. Jika di Harajuku, gaya ini merupakan wujud kecintaan para penggemarnya terhadap tokoh-tokoh kartun tertentu, yang divisualkan dalam pakaian dan asesoris yang digunakan. Gaya Harajuku dan cosplay, merupakan perpanjangan budaya Jepang, yang dikenal sebagai salah satu negara pencipta film animasi terbaik. Dukungan terhadap film-film animasi, sebagai wujud kecintaan terhadap produk Jepang, ditunjukkan melalui media pakaian cosplay. Sekaligus, dalam usaha mempromosikan dan mempengaruhi masyarakat dunia tentang keberadaan film-film animasi Jepang, tentunya juga cosplay. Beberapa gaya pakaian semacam ini dapat diketahui dengan kemunculan para cosplayer di beberapa negara, seperti: Amerika, Singapura, Spanyol, Italia, dan termasuk Indonesia. Apa yang ditampilkan oleh cosplayer di Yogyakarta merupakan representasi pemikiran kreator komik, baik bersumber pada legenda, dongeng, maupun fiksi
METODE PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
Penelitian ini menggunakan data kualitatif, menggunakan pendekatan estetika, penggalian data dilakukan dengan eksplorasi langsung dan pengamatan foto. Perlu ditekankan, bahwa pakaian cosplay dalam penelitian ini merupakan pengamatan dan representasi pakaian yang berkembang di Yogyakarta, sedangkan dari daerah lain (Bandung, Surabaya, Jakarta) merupakan data pelengkap. Untuk menganalisis hasil penelitian mengenai pakaian cosplay di Yogyakarta, digunakan pendekatan melalui kajian prinsip-prinsip estetika dalam pandangan Dewitt H. Parker, yang membicarakan tiga macam prinsip. Ketiga prinsip tersebut, adalah prinsip kesatuan organik, prinsip unsur dominan, dan prinsip keseimbangan. Ketiga prinsip ini digunakan sebagai alat bedah untuk melihat nilai-nilai visual/permukaan pada pakaian cosplay. Menganalisa bentuk dan pola desain, termasuk melihat gaya ragam hias yang digunakan pada pakaian. Proses analisis ragam hias pakaian cosplay secara mendasar melihat pada pengelompokkan prinsip kesatuan organik, unsur dominan, dan keseimbangan. Penentuan kelompok ini untuk memudahkan proses analisa ragam hias dan bentuk, termasuk aksesori yang digunakan pada pakaian cosplay.
Pandangan terhadap visual pakaian, tidak terlepas dalam konteks lain, yaitu terkait dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Atas asumsi, bahwa produk-produk estetika ini merupakan hasil dari dinamika budaya yang berkembang pada masyarakat, sehingga memiliki peran penting bagi pembentukan pakaian cosplay. Parker, tidak saja melihat secara estetika terhadap visual dan keindahan sebuah karya seni, tetapi secara mendalam mengupas persoalan sosial yang turut serta dalam upaya menghadirkan sebuah karya seni, lengkap dengan perangkatnya.
Penelitian pakaian cosplay, selain dianalisis dengan pendekatan Parker, juga dilakukan kajian sosial budaya dalam konsep-konsep habitusnya Pierre Bourdieu. Habitus merupakan ide tentang kebiasaan, analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia, nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia. Kebiasaan ini merupakan penggambaran mengenai kesenangan dan hobi yang ditampilkan oleh pencinta gaya pakaian cosplay, akan diketahui alasan mendasar kesenangan terhadap pakaian tersebut. Secara sederhana, teori Bourdieu digunakan untuk menelusuri perilaku para cosplayer (penggemar gaya cosplay) dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap gaya dengan rujukan tertentu. Teori ini juga digunakan untuk melihat dan menghubungkan pakaian cosplay, sebagai salah satu gaya dari pakaian umumnya, dengan kondisi masyarakat sosial dan budaya umumnya.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan data, berikut ini adalah hasil analisis, dengan menggunakan pendekakatan teori prinsip esetika Parker, yaitu: prinsip kesatuan organik, prinsip unsur dominan, dan prinsip keseimbangan. Selain itu digunakan pula pendekatan habitus Bourdieu, untuk melihat korelasi desain dengan konteks sosial budaya.
1. Prinsip Kesatuan Organik
Antara bentuk dan isi tidak boleh dibeda-bedakan, dan
dilihat sebagai satu kesatuan organik. Teori organik mengatakan, bahwa karya
seni sebagainya dilihat sebagai sistem organik, bukan sebagai sistem mekanik.
Pada sistem organik, setiap unsurnya tidak berperan sendiri-sendiri, tetapi
selalu dalam kaitan internal dengan unsur-unsur yang lain, tidak terlepas pula
dari keseluruhannya. Karya seni adalah simbol dan nilai seninya ditentukan pula
oleh kedudukannya sebagai simbol (Humar Sahman, 1993: 34-35).
Seorang desainer pakaian, Elsa Schiaparelli, mengatakan bahwa “bukan pakaian yang beradaptasi dengan tubuh manusia, melainkan sebaliknya, tubuhlah yang beradaptasi dengan pakaian” (Lars Svendsen, 2006: 77). Terjadi semacam dialog antara tubuh dan pakaian, pakaian dan konteks sosial, keduanya saling beradaptasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, termasuk didalamnya adalah kepentingan untuk pembentukan kebiasaan. Tahapan selanjutnya tentu tidak terlepas dengan persoalan identitas keduanya, identitas tubuh dan identitas pakaian. Sebuah wujud dan tema pakaian melabelkan hal baru pada tubuh, memberikan perbedaan karakter, tempat, waktu, dan persoalan ideologis antara tubuh satu dengan yang lainnya. Seperti yang digambarkan oleh ahli Sosiologi, Anthony Giddens, bahwa “bagaimana tubuh menjadi sebuah benda refleksif yang identitasnya terbentuk dikarenakan oleh identitas pakaian”.
Kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan, yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi diantara hubungan unsur pendukung karya, sehingga secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh. Berhasil tidaknya pencapaian bentuk estetik suatu karya ditandai oleh menyatunya unsur-unsur estetiknya (Dharsono Sony Kartika, 2004: 59).
Untuk menilai secara visual pakaian cosplay harus dilihat secara keseluruhan. Misalnya pada bentuk cosplay yang diadaptasi dari pakaian tradisional dan sumber cerita wayang, maka secara visual mewakili bentuk ragam hias tradisional, stilisasi akar dan daun, bentuk ukel, penggunaan mahkota, pemakaian selendang, dan penggunaan kain batik sebagai simbol penting untuk pakaian cosplay cerita pewayangan. Pada beberapa visual, akan terjadi pengulangan bentuk yang diharmonisasi dan distilisasi, misalnya hiasan pada mahkota, hiasan pada lengan, dan hiasan pada ikat pinggang, adalah merupakan bentuk-bentuk yang sama. Untuk tampilan visual aksesori pakaian cosplay secara dominan menggunakan warna-warna keemasan, yang melambangkan keagungan dan kebesaran. Selain terdapat warna hitam, coklat tua, merah, dan putih. Unity harus dilihat secara keseluruhan, mulai dari pakaian pokok, aksesori yang digunakan, dan pemakaian make up untuk memberikan penguatan karakter tokoh. Barulah dapat dilihat cosplay secara utuh berdasarkan referensi yang sesungguhnya, yaitu bersumber dari tokoh komik dan manga.
Secara keseluruhan visualisasi pakaian cosplay tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur desain, yang terdiri atas garis, bidang, tekstur, bentuk, dan warna. Garis pada pakaian cosplay dapat berbentuk garis lurus dan lengkung, zig-zag, vertikal dan horizontal, untuk memberikan kesan-kesan imajinatif, serta menentukan karakter penokohan berdasarkan garis-garis desain. Bidang dapat memberikan kesan ruang, datar, ruang lengkung dan cembung, bidang tegas, serta kesan-kesan lain, ditentukan oleh satu jenis tokoh. Tekstur merupakan unsur desain yang dapat menampilkan sifat-sifat atau kesan tertentu untuk memberikan kualitas raba pada permukaan bidang, yang menyatakan halus, berbintik-bintik, buram, kasar, bercak-bercak. Berdasarkan bentuk dapat berupa bentuk geometris yaitu bentuk bujur sangkar, bentuk lingkaran, bentuk segitiga, bentuk persegi, dan juga bentuk-bentuk tidak beraturan. Warna, menempati peran yang cukup penting dalam visualisasi desain, warna panas dan dingin, kontras dan harmoni, merupakan pilihan-pilihan warna yang sangat menentukan daya taris satu jenis pakaian cosplay.
Cosplay pada dimensi kultural adalah mengelompoknya hasrat-hasrat bergaya, yang terwadah dalam komunitas pecinta kebudayaan animasi (dominannya Jepang) dan manga. Pada dimensi berkesenian, cosplay adalah ekspansi besar-besaran ekspresi yang terwujud dalam desain dan seni bermain peran. Karena cosplay memiliki dimensi spesial, dimana seseorang melalui pakaian tertentu, juga “wajib” memahami kebiasaan karakter “pemilik” pakaian yang digunakan. Misalkan pakaian cosplay dengan tokoh Naruto, harus memahami betul keidentikan dominan dan kebiasaan yang melekat pada Naruto, demikian pun pada tokoh idola lainnya. Pada dimensi kultural lainnya, cosplay tidak saja berimplikasi pada wilayah personal, tetapi terjadi massifikasi ideologi animasi terhadap wilayah publik. Ke-kontemporan seni dan ideologi, sepertinya melegalkan cosplay untuk berakumulasi menjadi budaya lokal. Pada akhirnya, lahirnya pakaian cosplay dengan idola tokoh Indonesia semacam Si Buta dari Gua Hantu dan Wiro Sableng, merupakan bukti nyata, bahwa cosplay dibesarkan dengan bersumber pada tokoh.
Eksistensi kesenangan pada cosplay, menambah daftar panjang terjadinya pembauran kebudayaan asing dan lokal. Asing menunjukkan sumber ide yang dominan pada gaya cosplay, sedangkan lokal mengacu pada karakter asli yang merupakan penggambaran hasil budaya masyarakat Indonesia. Cosplay pada tataran tertentu mampu memberikan kepuasan berpakaian, tidak saja dalam hal hasrat dan ekspresi, tetapi juga persoalan bagaimana memerankan karakter penjiwaan suatu tokoh tertentu secara total. Dimensi play (cos and play) yang memberikan penekanan dan betapa spesialnya karakter pakaian ini. Kekhususan dalam hal play, membatasi pakaian ini untuk direduksi dalam pakaian kasual (sehari-hari), membedakannya dari peragaan pakaian umumnya, dan tentu, keidentikan pakaian cosplay merupakan wujud identitas pakaian yang digunakan.
Ada hal yang menarik untuk diketengahkan dalam ranah berpakaian konteks gaya cosplay. Dalam wujud pakaian cosplay merupakan perkembangan nilai-nilai “tradisi” yang menjadi kultur dunia animasi, dikemas dalam persoalan mode. Pada ranah lain, terjadi distorsi makna terhadap nilai-nilai berpakaian; dimana, berpakaian menjadi alat untuk mempersatukan tujuan dalam mencapai apa yang disebut bergaya. Istilah bergaya, dalam konteks berpakaian, dipahami sebagai aplikasi luar yang digunakan untuk memanipulasi orang lain, sehingga memiliki kesan sosial yang terkonsep, terbentuk sebagai persoalan hasrat-hasrat individu.
Hasrat-hasrat berpakaian inilah yang mengarahkan seseorang individu, atau pun sekelompok orang, untuk membiasakan diri dan mengkonsumsi produk-produk industri (pakaian) sebagai perpanjangan tangan kultur animasi. Sebagai sebuah kultur, domain ide cosplay merujuk pada era digital yang diterjemahkan dalam wujud visual pakaian. Pada akhirnya, kesamaan para cosplayer di beberapa daerah (bahkan negara), adalah tentang mengelompoknya hobi dan kebiasaan yang sama (cinta budaya animasi), kepopuleran tokoh, persoalan ranah bergaya, dan pengakuan identitas terhadap kelompok masyarakat.
2. Prinsip Unsur Dominan
Unsur
dominan ini merupakan penekanan dan pengulangan bentuk untuk menciptakan pusat
perhatian. Dharsono Sony Kartika menyebutnya sebagai “aksentuasi, suatu proses
yang dicapai dengan perulangan ukuran dan kontras antara nada warna, garis,
ruang, bentuk atau motif” (2004: 63). Pada pakaian Wiro Sableng, Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212, tidak terdapat pusat perhatian yang khas, selain dominannya
warna putih yang digunakan sebagai pakaian. Satu-satunya daya tarik terletak
pada rajah “212” dibagian dada yang berwarna hitam, serta aksesori Kapak Naga
Geni 212 dengan warna perak dan ikat kepala berwarna putih. Gaya pakaian
Naruto, dominan berwarna Orange dan
hitam, aksesori: ikat kepala, serta penggunaan beberapa logo pada bagian
belakang dan lengan. Khasnya Naruto justru terletak pada gaya wajah dan rambut
yang berwarna kuning.
Kecintaan pada gaya cosplay, merupakan kebiasaan sebagai suatu gaya hidup masyarakat sosial. Pada kehidupan sosial sehari-hari sangat akrab dengan komersialisasi, begitu banyak komoditi yang bersirkulasi, memanjakan manusia dengan hasrat-hasrat untuk mengkonsumsi. Untuk kebiasaan mengkonsumsi suatu jenis produk, logika yang dipakai bukan lagi persoalan kebutuhan, melainkan memakai logika hasrat-hasrat. Menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari, “hasrat tidak akan pernah habis dan terpenuhi, karena terdapat mesin hasrat, selalu terjadi reproduksi hasrat secara terus menerus”(Yasraf Amir Piliang, 2003: 15).
Hasrat untuk mendapatkan pengakuan sosial yang muncul pada setiap personal, merupakan wujud pencarian identitas dalam masyarakat. Identitas ini jugalah yang membedakan setiap manusia, lingkungan sosial, termasuk juga landasan berpikir untuk bergaya. “Persoalan identitas adalah mutlak dan menjadi konsep utama dalam fungsi berpakaian” (Lars Svendsen, 2006: 137). Pakaian memberikan kontribusi terhadap pembentukan identitas. Identitas ini menjadi hal penting saat bertemu dengan komunitas sosial tertentu, gaya hidup setiap individual yang divisualkan melalui gaya berpakaian, mencerminkan gaya hidup komunal yang dicitrakan melalui simbol-simbol manusia tradisional dan postradisional. Dalam pemahaman Anthony Giddens, “masyarakat sosial modern memiliki karakter pencitraan diri personal yang individual dan kuat, dimana rujukannya tetap bernuansa tradisional” (Lars Svendsen, 2006: 140).
Kesepakatan bergaya dalam cosplay merupakan “aturan” yang disepakati komunitas penggunanya, yang disadari atau tidak, membentuk tanda-tanda yang berkomunikasi dalam konteks. Kesepakatan ini merupakan adanya kesamaan dan mengelompoknya kebiasaan pecinta pakaian gaya cosplay, yang menghasilkan tanda-tanda. “Sekumpulan tanda yang terorganisir dinamakan sebagai kode dan aturan kesepakatan tersebut yang kemudian “dikodekan”” (John Fiske, 2007: 91). Tidak ada kode pertandaan yang dapat dipisahkan dari praktek sosial penggunanya.
Sifat dasar kode, yaitu: (1) memiliki dimensi paradigmatik (terdiri sejumlah unit kode) dan sintagmatik (sejumlah unit kode dapat disatukan); (2) menyampaikan makna; (3) bergantung pada kesepakatan pengguna dan latar belakang budaya yang sama. Kode dan budaya saling berinterelasi secara dinamis; (4) menunjukkan fungsi sosial; (5) dapat ditransmisikan melalui media (John Fiske, 2007: 92).
Susunan tanda yang berupa kode, sangat dilandasi ideologi mendasar dari apa yang hendak dikodekan. Dalam pakaian cosplay dan apa yang dipikirkan oleh cosplayer, merupakan hal atau ide pokok dari persoalan yang dinamakan konsep berpikir dari rancangan pakaian cosplay itu sendiri. Tentu, tidak terlepas dari sumber-sumber pemikiran yang terkait dalam pembentukan pakaian cosplay. Ada sesuatu makna yang ingin disampaikan; dengan kata lain, cosplay adalah menunjuk tatanan ide personal dengan segala macam kerumitannya. Pada saat lain, cosplay berevolusi menjadi teks-teks yang saling berhubungan antara desainer, pengguna (penggaya), dan lingkungan sosial. Ada sesuatu yang disistemasikan, kesepakatan yang muncul adalah dalam konteks fungsi sosial, dalam hal ini pengakuan identitas. Pada akhirnya, kepentingan desainer cosplay dan cosplayer sangat ditentukan oleh produk pakaian yang dihasilkan, seberapa kuat aksentuasi dan pengkarakteran yang diciptakan.
Sebetulnya, letak pokok persoalan dalam bergaya adalah bagaimana mengemas tampilan, atau berpenampilan yang mampu membedakan atau menyamakan (mengikuti mode, bermode) diri dengan lingkungannya. Cosplay merupakan persoalan penampilan, sekaligus menunjuk komunikasi nonverbal yang saling berkorelasi antara desainer, individu, dan lingkungan atau komunitas bergaya. Membedakan adalah cara-cara untuk memberikan penguatan pada unsur-unsur kebentukan, aksentuasilah yang menentukan perbedaan setiap karakter pakaian cosplay.
Oleh karena itu, dalam hal
berpenampilan, Argyle membagi menjadi dua, yaitu: berdasarkan aspek sukarela
(rambut, pakaian, kulit, warna kulit, dan perhiasan); berdasarkan aspek yang
tidak dapat dikontrol (tinggi badan, berat badan). Penampilan digunakan untuk
mengirimkan pesan tentang kepribadian, status sosial, dan konformitas (John Fiske, 2007: 96).
Secara sukarela cosplayer (dengan segala keterbatasan dan kelebihan) menjadi agen-agen budaya berpakaian, dengan bergaya cosplay, termasuk menjadi agen-agen film animasi. Sukarela tidak semata-mata terbentuk atas keinginan normal, melainkan terbentuk oleh peran dan pengaruh lingkungan sosial, atas dasar kesamaan kebiasaan pada komunitas, dan termasuk pula iklan.
Di dalam iklan, tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang membeli produk untuk (bergaya), bukan atas kebutuhan, melainkan membeli makna-makna simbolik; konsumer diposisikan terpesona makna simbolik, daripada fungsi kegunaan pada benda yang dibelinya (Yasraf Amir Piliang, 2003: 287).
Pada sisi lain, personal-personal yang menjadi komunitas pecinta cosplay, wujud dari aktualisasi diri terhadap komunitas dalam lingkungan sosial tertentu. Aktualisasi ini merupakan upaya personal atau kelompok, yang dapat terdiri atas satu macam atau sekumpulan tanda, untuk membangun sebuah imaji dan identitas pada wilayah tertentu.
Menurut pandangan Rogers, aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman belajar khususnya dalam masa kanak kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis. Aktualisasi diri ini disebabkan untuk memenuhi kebutuhan, diantaranya: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta, dan kebutuhan untuk mendapat penghargaan (Suane Schultz, 1997).
Abraham Maslow, menyimpulkan bahwa seseorang
melakukan aktualisasi diri, apabila kebutuhan fisiologis (kebutuhan makan dan
minum), rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri belum
terpenuhi dengan baik. Kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan kebutuhan
cinta muncul sebagai perkembangan jiwa dan raga seseorang, berkembang secara
alamiah atau pun dikondisikan dalam kondisi tertentu (Suane Schultz, 1997).
Beberapa tanda pada cosplay mengindikasikan pada kebutuhan untuk mendapatkan rasa aman, cinta, diterima, dan mencari penghargaan pada konteks lingkungan tertentu. Cosplay menjadi media ungkapan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sosial, sehingga didapatkan prestige dan kepuasan hati manakala tujuan tercapai dan tersampaikan dengan baik. Selain itu, cosplay menjadi media untuk saling berkomunikasi bagi cosplayer dan bertukar karakter, ide, dan saling meminjamkan hasrat untuk saling beraktualisasi diri.
3. Prinsip Keseimbangan
Jika melihat konsep pikir
Nanang Rizali, maka menurut jenisnya mode (fashion)
dibagi menjadi empat macam, yaitu: Special Fashion, High Fashion, Medium Fashion,
dan Standard Fashion. Dalam
perkembangannya empat fashion terbagi lagi menjadi delapan aliran yang menjadi
ciri khas tersendiri, yaitu: Aliran Classic
dan New Classic, Aliran Houte Couture dan Trendy, Aliran New Waves
dan Cycle, serta aliran Fads dan Ready to Wear (Jurnal
Seni Rupa dan Desain, 2000).
Berdasarkan pada
konsep tersebut, pakaian cosplay menjadi
bagian dari special fashion. Special fashion
dapat diterjemahkan sebagai pakaian yang penggunaannya hanya dalam konteks
waktu, tempat, dan situasi tertentu saja. Selain, memang dapat ditarik benang
merah dengan dress code, yang
membatasi konteks tempat dan waktu saat berpakaian.
“Prinsip mendasar pada penciptaan pakaian adalah bagaimana cara membuat pakaian lama (agar tampak kuno), segera digantikan dengan pakaian baru” (Lars Svendsen, 2006: 28). Eksistensi pakaian saling berinteraksi antara masa lalu dengan saat ini, pada beberapa rentang zaman, mengalami perulangan bentuk. Bentuk masa kini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk “saat ini”, melainkan refleksi wajah pakaian masa lalu. Roland Barthes mengklaim, bahwa “pakaian adalah suatu wacana perbincangan masa lalu” (Lars Svendsen, 2006: 31). Bentuk pakaian selalu berotasi dalam putaran yang tetap, dimana perputaran tersebut hanya persoalan waktu dan tempat, saat pakaian digantikan dengan bentuk baru. Pakaian mengalami dekontekstualitas dan rekontekstualitas dari pembentukan tradisi yang lain, sehingga hampir tidak ada bentuk pakaian yang sifatnya original.
Menurut Dharsono Sony Kartika, keseimbangan ini terdiri atas “keseimbangan formal dan keseimbangan informal” (2004: 60-61). Penentuan dan peletakan hiasan pada pakaian, tidak dapat terlepas dari persoalan keseimbangan, yang dapat divisualkan melalui karakter tekstur, warna, bidang dan ruang, termasuk pengelompokan pola-pola tertentu. Penempatan logo spiral (logo Klan Uzumaki) pada pakaian Naruto, yang diletakkan pada bagian tengah punggung, sangat memperhatikan keseimbangan tempat. Termasuk pola simetris pada bagian depan pakaian Naruto, yang memperhatikan unsur keseimbangan. Demikian pula, pemakaian logo spiral pada tangan kanan Naruto, merupakan pertimbangan keseimbangan informal.
Hal yang berlaku pada cosplay, dalam perulangan bentuk dan perbicangan masa lalu, ditampilkan melalui transformasi pakaian animasi digital ke pakaian pakai. Istilah masa lalu merujuk pada ide-ide mendasar dalam khazanah desain pakaian yang digunakan dalam gaya cosplay. Wacana dimensi waktu adalah persoalan yang dalam upayanya untuk membedakan beberapa persoalan, seperti: klasifikasi, tema, tempat, material, komunitas, dan fenomena kultural dalam cosplay. Pelembagaan dan klasifikasi cosplay dilakukan untuk memberikan gambaran anatomi setiap bagiannya. Ini juga membatasi ranah cosplay dan bukan cosplay, sekaligus penanda perbedaan kemasan, baik hal gaya, atau pun penjiwaan terhadap suatu pakaian yang digunakan. Pada dimensi umum, cosplay merupakan sebuah produk dengan tujuan untuk dipamerkan pada masyarakat umum. Konsep teori yang melekat pada cosplay, sebetulnya masih sejalan dengan apa yang dicetuskan oleh Desmond Morris mengenai fungsi pokok pakaian, yaitu: “pakaian untuk kenyamanan, pakaian untuk kesopanan, dan pakaian sebagai benda pameran” (Desmond Morris, 2002: 320). Pakaian cosplay dan segala aksesori yang melekat, masuk pada bagian pakaian sebagai benda pameran.
Pada sumber buku yang sama, “fungsi kenyamanan merupakan hal pokok dan paling penting, bukan persoalan sosial, dan masuk wilayah pribadi” (Desmond Morris, 2002: 320). Sejak awal, pakaian diciptakan untuk melindungi tubuh dari berbagai macam masalah, termasuk menjaga dari penyakit. Pada cosplay, pakaian mengalami dekonstruksi pemaknaan dan tujuan penggunaan, yang berbeda dengan pakaian umum. Jika menurut Richard Corson, cosplay ini masuk pada kategori “pakaian fantasi, yang hanya dapat diterima oleh kelompok, disajikan dalam konteks waktu, tempat, dan wacana tertentu saja” (Richard Corson, 1981). Pakaian cosplay melalui dimensi personal, merupakan ekspresi jiwa melalui media pakaian, dengan tujuan utama untuk mencari nilai popularitas dan pencitraan. “Pencitraan di wacana iklan, membentuk masyarakat konsumer menjadi kelompok-kelompok gaya hidup, yang pola kehidupannya diatur berdasarkan tema, citra, dan makna simbolik tertentu” (Yasraf Amir Piliang, 2003: 290). Setiap kelompok gaya hidup menciptakan ruang sosial, yang didalamnya gaya hidup dikonstruksi.
Persoalan lain dari cosplay adalah pakaian sebagai bentuk ekspresi individualistik. Gagasan Malcolm Barnard menyoroti persoalan “pakaian sebagai penanda untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan menyatakan bentuk keunikannya” (Malcolm Barnard, 2009: 85). Pakaian cosplay digunakan sebagai media untuk mengekspresikan keunikan individu atau komunitas terhadap kecintaan budaya animasi dan manga. Sebagai media ekspresi, cosplay tidak dapat lepas dari tema-tema pakaian yang ditampilkan atau diciptakan, tetap terikat pada konsekuensi dan aturan dalam menciptakan pakaian cosplay. Dress code atau tema pakaian memberikan batasan dan kemudahan bagi desainer dan cosplayer dalam menciptakan pakaian dan tokoh tertentu. Aturan tema adalah mutlak ada pada pakaian cosplay.
Pencitraan dan ekspresi individualistik merupakan persoalan mendiskursuskan keseimbangan gagasan konsep tentang pakaian cosplay dan makna yang menyertainya. Kode sosial pakaian cosplay merefleksikan kebudayaan populer dan serbuan dimensi digital pada kehidupan kesenian tradisional. Ada dua unsur saling terkait dalam praktek industri mode yang merupakan kunci untuk godaan konsumen: merk dan fantasi. “Merk adalah alat untuk penciptaan fantasi. Sebagai catatan McRobbie dalam contoh di atas, merk melampaui visual untuk mewakili fantastis gambar atau pengalaman suatu produk” (Linda Leung dan Sara Goldstein, 2008: 27). Pakaian cosplay mencitrakan tentang merk atau label (mengacu pada perancang pakaian, termasuk budaya yang menjadi rujukan) yang memang diciptakan untuk “menggiring” imajinasi konsumen untuk menyukai dunia pakaian dan animasi.
Komentar
Posting Komentar