MELIPAT RUANG PAMER
denijusmani@gmail.com
denijusmani@gmail.com
Ruang publik tentu tidak sama dengan ruang digital, tetapi boleh jadi ia adalah ruang pamer. Tidak saja berbeda pada dimensi ruang, yang paling nyata adalah perbedaan kekuasaan dari kedua ruang itu sendiri. Kekuasaan tersebut dapat juga menjadi salah satu kelemahan, ketika dikaitkan dengan persoalan humanisasi dan interaksi sosial yang sesungguhnya. Kekuasaan ruang digital adalah bagaimana ruang ini mampu menjelajah secara luas, jauh, bahkan sampai pada ruang pribadi sekalipun. Idealisme ruang publik dan ruang digital menjadi indikator untuk membedakan, sekaligus menyamakan fungsi ruang itu sendiri. Ruang publik masih dapat dipilah-pilah setiap lapisan dan sekat ruang, sedangkan pada ruang digital tidak lagi bicara persoalan budaya tinggi dan rendah, amatir dan profesional, seperti pada ciri posmodern yang dikemukakan oleh Madan Sarup. Ruang digital merupakan wujud kekinian dan tidak bersifat alamiah, melainkan dibuat oleh kapitalisme global.
Ruang publik dan ruang digital, sama-sama dapat digunakan seniman untuk melakukan upaya-upaya pembentukan opini, pencitraan, dan menghasilkan kontrol-kontrol yang diarahkan untuk kepentingan tertentu. Pencitraan merupakan usaha seorang seniman, sebagai muara untuk mengontrol keberadaan dan ketersediaan ruang pasar, yang memungkinkan untuk dieksekusi melalui ruang digital. Pemakaian ruang digital menjadi lebih bebas daripada ruang publik (terbatas), nyaris tidak akan pernah ada seleksi kualitas. Lagipula, disinilah letak kekuasaan cyberspace sebagai “ruang publik baru”, dengan elemen dan konsekuensi baru juga. Ketika terjadi komodifikasi ruang-ruang tersebut, sesungguhnya akan menghasilkan perluasan ruang atas ide yang akan disampaikan, demikian pula dengan yang terjadi pada proses komunikasi pada ruang publik dan digital, tetap terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi masing-masing ruang.
Ruang cyberspace akan meruntuhkan aturan-aturan yang selama ini lazim dipakai pada ruang publik, seperti pemanfaatan galeri atau ruang pamer lainnya. Sekaligus, melunturkan aturan persoalan kualitas, kuantitas, dan membiaskan fungsi kurator, bahkan penonton. Ruang cyberspace dengan fasilitas semacam facebook, path, twitter, instagram, blog, dan beberapa bentuk lain, merupakan bentuk “galeri” pribadi seorang seniman, yang ketika seniman ini “berpameran” melalui proses posting karya, penonton dengan sendirinya akan terbagi menjadi pasif dan aktif. Pasif, ketika penonton melihat secara tidak sengaja, karena terafiliasi dan adanya ikatan pertemanan digital, sehingga aktifitas berpameran seniman ini juga dapat di tonton. Aktif, saat relasi pertemanan digital tersebut sengaja diundang (tag/tandai) untuk menyaksikan suatu paparan karya dari seorang seniman.
Tag/tandai adalah bentuk undangan secara hormat dalam versi digital, seperti yang berlaku di facebook dan twitter. Sama seperti undangan pameran karya seni secara umumnya, penonton yang diundang boleh datang, boleh mengabaikan, tidak “terikat” dan dipaksa untuk hadir menyaksikan satu bentuk pameran. Label kehormatan dan dihormati tersebut, akan bertambah ketika seniman secara khusus mengundang seseorang untuk mengkritisi karya seni yang dipamerkan melalui ruang digital, semacam kurasi, kritik estetik, dan pandangan, yang diharapkan menghasilkan saran-saran, khususnya “rekomendasi”. Tentu, tidak ada “uang lelah” yang harus disiapkan seniman dan diterimakan pada orang yang dianggap kompeten dalam hal mengkurasi.
Pameran pada cyberspace adalah salah satu bentuk usaha untuk mempertanyakan otoritas dan perlawanan segala bentuk kekuasaan (kemapanan?). Otoritas peran-peran lembaga yang terlibat dalam pameran seni rupa pada ruang publik kembali dipertanyakan, hadirnya agen-agen seni sebagai pintu penghubung seniman dengan penonton (pasar) berdiri atas nilai-nilai yang diragukan keberpihakannya. Sebetulnya agen-agen tersebut berpihak pada siapa? Kepentingan wacana dan pasar? Privatisasi keuntungan? Serangan dan ancaman kapital yang lebih kuat? Atau menjadi pekerja sosial yang membesarkan dunia seni rupa, dengan membela hak-hak seniman? (dan ini absurd banget).
Apa yang dibicarakan beberapa tokoh mengenai melipat ruang dalam Yasraf Amir Pilliang adalah bagaimana dunia dipandang lebih praktis, teknologi merupakan perpanjangan tangan dari sebuah pemikiran, mampu menyulap fantasi, halusinasi, mereproduksi masa lalu dan nostalgia, dan melipat dunia menjadi tidak lebih dari sebuah layar teknologi. Pelipatan ruang memungkinkan untuk membentuk opini baru, pencitraan, termasuk membentuk pemikiran-pemikiran baru. Mungkin, nantinya ruang pamer karya seni, berserta agen-agennya, tidak lagi dibutuhkan sebagai salah satu aspek yang terlibat dalam pembuatan karya seni. Tergantikan perannya oleh ruang digital, menunjukkan terjadinya pelipatan ruang pameran (publik) secara nyata. Beranda facebook akan tampak lebih menarik untuk dijadikan lahan “komunikasi” karya seni rupa, ketika ruang publik yang semakin dipersempit oleh ketidakberpihakan agen dan segala macam prasyarat untuk berpameran.
Pelipatan ruang pamer tersebut menjadi bagian penting bagi wacana konsumerisme, sekaligus memperlihatkan peralihan produk seni menjadi sebuah komoditi. Harus diakui, bahwa komoditi merupakan persoalan tren-tren, peristiwa “booming” seni rupa yang pernah terjadi di Indonesia, tidak akan lepas dari persoalan tren (baca: jenis dan aliran karya seni rupa). Istilahnya Baudrillard disebut sebagai ruang simularcum, merupakan ruang yang dipenuhi dengan duplikasi dan daur ulang berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda. Akibat simularcum, ruang pamer dan karya seni rupa menjadi seragam, dan itulah ciri dari produk-produk komoditi. Ruang simularcum dan fase booming seni rupa dilihat sebagai bentuk pengejawantahan kepentingan pasar, sehingga yang terdampak dalam booming ini adalah karya-karya yang seragam, bisa jadi pembelinya juga seragam.
Pameran seni rupa pada ruang cyberpace memungkinkan untuk dilakukan, sebagai ruang dialektika “baru” bagi dunia seniman, terobosan praktek pemasaran sebagai alternatif, termasuk diskusi dan pencerahan kritik seni rupa. Pada akhirnya, catatan mengenai cyberspace harus dilihat sebagai wacana “baru” sebagai ruang alternatif pameran seni rupa, sekaligus ruang promosi yang sebetulnya tidak dalam rangka menyampingkan pentingnya ruang pamer itu sendiri. Setiap kepentingan dapat dipromosikan lewat cyberspace, tetapi tentu tidak semua orang dapat menikmati pengalaman dan sensasi menonton pameran, seperti lazimnya pameran secara konvensional. Pilihannya adalah terletak pada konsep-konsep karya dan gagasan yang ditawarkan oleh seniman itu sendiri, mau pameran dengan cara kontemporer, atau cukup cara konvensional saja.
Komentar
Posting Komentar