Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
Estetika ini pada wilayah yang sempit seringkali dipahami sebagai bahasa
lain dari hal-hal keindahan. Estetikaisme merupakan pandangan-pandangan
yang melihat ranah keindahan dari setiap lapisan, sehingga diharap
dapat menguraikan perkara misteri yang menyelimuti alam pikir dari
keindahan itu sendiri. Estetika, erat pula dengan persoalan intuisi,
yang sering dibicarakan sebagai motor penggerak kreator untuk mengolah,
menimbang, dan menentukan pilihan ketika bergerak secara teratur untuk
menciptakan suatu gagasan dengan medium-medium tertentu. Apa yang
menjadi tawaran dalam pengolahan intuisi dalam tatanan personal, tentu
sangat terlepas pada tantangan wilayah masyarakat penikmat. Apa yang
tersaji, besar kemungkinan tak terbaca sama sesuai dengan intuisi
kreator.
Alat-alat semacam ilmu estetika, menjadi sangat terbatas ketika
usaha-usaha menguraikan sebuah karya seni menjadi bahasa verbal atau
tulisan, karena pembacaan, yang apalagi menganut kepercayaan pada simbol
(warna, bentuk, atau teknik) bukanlah secara pasti mewakili
gagasan-gagasan kreator. Estetika ini juga bukan semacam kamus atau
ensiklopedi yang berisi pengertian-pengertian atau penjelajahan makna
dan peristiwa, yang pada akhirnya memberikan transformasi informasi dari
alam visual menjadi bahasa tulisan.
Isme pada estetika, jika
diterjemahkan sebagai suatu semangat spritual terhadap hal-hal indah
atau berkaitan dengan keindahan, menjadi sangat terbatas jika ditautkan
pada apa yang berkenaan dengan intuisi. Intuisi bukanlah hal sederhana
yang dapat dimiliki pada setiap orang, ia menyangkut endapan-endapan
rasa, pengalaman dan pembelajaran, penglihatan dan penemuan masa lalu,
atau sesuatu yang direkayasa.
Intuisisme muncul atau dimunculkan oleh
seseorang berdasarkan pengetahuan atau pengalaman-pengalaman yang
“terdidik”, ditampilkan secara teratur, dan dinilai berdasarkan
kesenangan personal kreator. Faham isme pada estetika dan intuisi
menjadikan kedua hal ini tak dapat diterjemahkan secara sederhana,
terdapat ikatan massif dan dijalankan oleh masyarakat sosial secara
popular. Pada level-level tertentu, menjalankan estetika dan intuisi
berkarya akan terlepas pada persoalan pencapaian popularisme, yang
membuat estetika dan intuisi menjadi ekslusif, terbatas, dan upaya-upaya
yang dilakukan untuk terlepas dari masyarakat estetis itu sendiri.
Memahami seni untuk seni, berkarya seni sebagai bagian dari seni, atau
mencipta karya seni untuk kepuasan pribadi, akan digiring pada pemaknaan
yang menyelimuti perkara sufi. Karena didalam persoalan sufilah
seseorang akan secara konsisten menciptakan karya seni sebagai bagian
pencarian kebahagiaan, yang tentu tak dapat dipelintir kebahagiaan ini
pada sisi materialime belaka. Sufisme dipahami sebagai ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun
lahir dan batin, untuk memporoleh kebahagiaan abadi.
Sufi dalam
estetika harus difahami secara mendasar dan tak emosional belaka, jika
estetika menyangkut persoalan rasa-rasa yang mendalam, intuisi yang
meyakini untuk memberikan kesenangan (atau efek batin lain), seharusnya
estetika ini mampu pula melepaskan diri pada persoalan-persoalan
keduniaan, yaitu proses-proses pencapaian dan mempopulerkan identitas.
Sufi ini adalah bentuk ketaatan terhadap sesuatu, sehingga pertanyaannya
adalah apakah sebuah karya (seni, pemikiran, teori) yang dihadirkan
seseorang, diharuskan pula secara wajib untuk dibeli, dihargai, atau
dipopulerkan bagi kepentingan si pencetus atau kreator? Atau sufikah
seorang seniman yang secara sadar mengakui profesinya, tetapi secara
emosional pura-pura tak sadar dengan langkah kerja, reksiko, atau pun
biaya yang harus dikeluarkan demi menunjang pilihannya? Atau adakah
kepantasan bagi pencapaian suatu kepopuleran dengan berdiam diri, tak
bergerak, serta secara egois mencari-cari kepopuleran ini secara instan,
gratis? Untuk mengurai hal yang pelik ini, mari kita mengkliping
pengertian-pengertian seni dari beberapa tokoh, sehingga kenapa sufisme
ini dihadirkan dalam ranah estetika, sekaligus membuka ruang-ruang
egosentris pada wilayah personal.
Komentar
Posting Komentar