Langsung ke konten utama

Mencari IDENTITAS YANG MERDEKA:

Not Everything But Something!
Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com

I
Paradigma yang berbeda, menghasilkan analisis yang berbeda pula. Ibarat lain lubuk, lain pula ikannya; lain ladang, mungkin lain juga belalangnya. Lain orang lain pula isi kepala dan cara memandang persoalan. Begitu pula ketika melihat persoalan identitas, akan ketemu banyak sekali perdebatan yang tak kunjung usai. Kenapa identitas menjadi penting? Pentingkah menjaga identitas? Apakah identitas ini merupakan tanda mutlak yang menjadi rujukan untuk dijadikan sebagai penanda? Apakah identitas dapat diatur-atur dan dikemas sesuai dengan kepentingan kapitalisme global? Benarkah identitas tak lagi merdeka, manakala kepentingan modal lebih dominan? Benarkan identitas ini merupakan tanda matinya sebuah kreativitas? Ataukah identitas ini harus dengan gaya atau teknik, atau warna yang sama? Apa sih identitas ini? Atau memang sudah tak zamannya lagi membicangkan identitas, dimana terdapat kepentingan ekonomi dan sesuap nasi yang lebih dominan? Sebegitu murahkah harga sebuah identitas, ketika harus digadaikan dengan pilihan-pilihan yang diberikan oleh penggerak kapitalis? Atau jangan-jangan gaya dan karakter kapitalisme inilah yang menjadi sebuah identitas itu sendiri?
Sekarang, pertanyaannya adalah kapitalis yang mana? Siapa atau apa yang dimaksud dengan kapitalis? Apa itu kapitalisme? Menurut wikipedia.com, kapitalisme atau kapital adalah suatu paham yang meyakini, bahwa pemilik modal dapat melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Disini, muncul istilah pemilik modal, berarti akan ada persoalan hukum ekonomi, untung atau rugi. Pelaku kapitalis, tentu akan mengabaikan persoalan remeh temeh, selagi tak berkaitan penting dan memberi dampak yang menyenangkan dalam hal ekonomi. Jangan terlalu berharap lebih, akan menampilkan wacana-wacana baru, kecuali berkaitan erat dengan bertahan atau keuntungan berlipat ganda dari modal-modal yang telah digunakan untuk membayar sesuatu proses. Apakah keuntungan ini menjadi landasan yang sama bagi para korban kapitalis? Mungkin jawabannya tidak, tetapi besar kemungkinan jawabannya adalah iya. 

Selalu, korban kapitalis ini berlandaskan pada kemufakatan dan kompromi (negosiasi), yang secara sadar mulai melirik dan melakukan kerja kreatif atau tindakan-tindakan sebagai bukti presentasi gagasan kelompok kapitalis. Alasan klasik yang muncul adalah dikembalikan pada perlawanan sifat kapitalis, ketakmampuan modal. Ketika merujuk pada beberapa pertanyaan sebelumnya, dapat pula dilacak, pembauran atau klasifikasi identitas, berdasarkan modal-modal yang dimiliki dan ditentukan oleh para pemodal. Mau terima atau berdisplomasi lain, ide(ntitas) ini semakin menuju pada persimpangan, yang secara perlahan melepaskan ide(ntitas) penting, yang seharusnya tak mudah pudar.

Pada penjelasan lain di wikipedia.com, beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme ini sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa, dimana sekelompok individu maupun kelompok tertentu dapat bertindak sebagai suatu badan yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut. 

Cukup tergelitik juga, ketika melihat terpenjaranya ide-ide dalam pencarian identitas (menjadi penanda) dan bukti kehadiran gagasan dalam ranah sosial budaya yang luas. Bukankah, jika dulu terdapat bulan-bulan atau tanggal-tanggal tertentu yang menjadi penanda musim hujan atau kemarau, pada akhir-akhir ini semakin pudar keidentitasannya. Atau ketika munculnya seseorang publik figur, selalu dicari atau ditentukan penanda-penandanya, yang ketika lepas atau berubah penanda tertentu, maka tokoh publik ini menjadi asing dimata orang lain. Kenapa selalu terjebak pada karakter atau penanda tertentu, untuk membuat identitas, sedangkan di lain sisi, kapitalisme dapat sewaktu-waktu berubah (sesuai prinsip ekonomi), yang mengkonstruksi ide-ide baru yang dianggap menjual dan menguntungkan. Apakah lantas seseorang akan dengan mudahnya berlalu dan pindah identitas (penanda) sesuai dengan kontruksi kaum kapitalis?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apresiasi dan Interpretasi Karya Seni

APRESIASI Feldman (1967) dan Smith (1967) mengelompokkan aktivitas apresiasi seni berdasarkan kepada proses persepsi dan intelektual melalui empat tahap, yaitu:  a. Menggambarkan  Mengamati hasil karya seni dan menggambarkan sifat-sifat yang terlihat, seperti: warna, garis, bentuk, rupa, tekstur, bidang, ruang, jalinan dan elemen-elemen gubahan yang termasuk sebagai prinsip dan struktur. Menggambarkan pada ranah lain dapat disebut sebagai mendeskripsikan tentang suatu bentuk atau tema dari sebuah gambar ekspresi. Menggambarkan dapat dilihat sebagai usaha untuk membaca hasil dari aktivitas anak-anak ketika menceritakan sesuatu kepada orang lain melalui karya seni.  b. Menganalisa  Menganalisa hubungan sifat-sifat tampak seperti unsur-unsur seni, prinsip, dan stuktur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: menganalisa kualitas ekspresif, seperti: mood dan suasana; menguraikan gaya suatu karya. Beberapa bagian karya gambar ekspresi...

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK A. TIPOLOGI Tipologi merupakan gaya atau corak yang dapat diamati melalui hasil gambar anak. Menurut Herbert Read, gambar anak berdasarkan gayanya dibedakan menjadi 12 macam, yaitu: 1. Organic Berhubungan langsung dengan objek nyata, lebih suka obyek dalam kelompok daripada tersendiri, sudah mengenal proporsi dan hubungan organis yang wajar. Ciri khususnya hanya terdapat satu unsur. 2. Lyrical (Liris) menggambar obyek realistis tetapi tidak bergaris. Obyek yang digambarkan statis dengan warna yang tidak mencolok. 3. Impressionism Mementingkan detail yang dilihat dari obyek. Di dalam gambar ini lebih diutamakan kesan “suasana”. 4. Rhytmical Pattern (Pola Ritmis) Menggambar pengulangan dari satu obyek yang dilihat. Sifatnya bisa organis atau liris dan selalu mengikuti pola umum (realistis). 5. Struktural Form (Bentuk yang bersusun) Objek mengikuti rumus ilmu bangun yang diperkecil menjadi satu rumusan geometris....

KONSEP SENI Bagian Ke-2

Aspek Fisik, Isi, Estetik dan Nilai Seni jika dipandang dari segi bentuk dan dimensinya terdapat karya seni dengan dua dimensi dan tiga dimensi. a. Pada karya dua dimensi, suatu yang nampak datar juga mempunyai kesan-kesan volume, kedalaman dan ruang, namun hanya tipuan pandang semata. Karya seni dua dimensi disebut semi visual, karena diserap oleh indra penglihatan. b. Karya seni tiga dimensi disebut juga karya seni spasial , karena terdapat tiga dimensi yang harus benar-benar diperhatikan. Dalam seni tiga dimensi, pelaku seni melibatkan indra gerak dan raba. Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikai...