Jilbab sebagai Tren,
Gaya Hidup, dan Nilai-nilai Hakiki
Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
Pengantar
Antara tahun 2003-2013 ada beberapa selebriti
Indonesia mulai familiar dengan penampilan kearah tema-tema religius, seperti:
Dewi Sandra, Marshanda, Rachel Maryam, Tya Ariestya, Risty Tagor, Zaskia
Sungkar, Lyra Virna, Yulia Rahman, Nuri Maulida, Ririn Ekawati, dan gaya hijab Shinta
Bachir yang selama ini akrab pakaian dan peragawati seksi. Tren gaya pakaian
selebriti tanah air tidak dapat terlepas dari mode dunia, yang juga menampilkan
dan memberitakan tema-tema berhijab. Tren hijab melalui jilbab tidak lagi
secara langsung membicarakan atau mewakili agama tertentu, tetapi lebih
membicarakan fashion. Sebutlah di
Mesir, terdapat sekumpulan perempuan yang mendirikan sebuah organisasi bagi
para pecinta fashion tren dengan
hijab, organisasi ini berharap untuk mengumpulkan dan mengembangkan perempuan
berhijab tanpa mengurangi rasa elegan. Di Bahrain, kini dikembangkan model
jilbab khusus, karena hijab juga merupakan wakil dari budaya masyarakat sosial
setempat.
Perlu diingat, bahwa pada tahun 2013 juga,
diperbolehkan secara lisan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, bagi
Polisi Wanita untuk menggunakan jilbab sebagai bagian seragamnya. Ijin yang
dikeluarkan berdasarkan pada Hak Asasi Manusia.[1] Tren hijab, selain
didukung oleh para selebriti, juga mendapat tempat khusus pada penyelenggaraan
pameran pakaian semacam Jakarta Islamic
Fashion Week, hadir pula di acara Jogja
Fashion Week, selain memang keselebritisan dan model jilbab ala Fatin
Sidqia Lubis[2]
turut serta memberikan persemaian gaya jilbab.[3] Sepertinya ada upaya untuk
mengidentifikasikan diri dalam gaya-gaya tren yang merujuk pada kepercayaan
tertentu, jika di Indonesia atau negara muslim, ini menyebut agama Islam.
Identifikasi ini dapat dilihat dari beberapa tingkatan, identifikasi sebagai
pernyataan kemusliman kepada khalayak umum, identifikasi dalam ranah kesadaran
yang hakiki, dan identifikasi sebagai bagian dari tren-tren gaya hidup.
Jika merunut pada sejarah, kompleksitas
pemakaian jilbab ini memang memiliki jalinan cerita yang beraneka ragam. Pada
tahun 1930-an, di Bandung, rumah-rumah perempuan Muslim yang memakai Jilbab
dilempari batu. Persoalan ini dipicu atas pernyataan seorang Bupati, yang bertanya
kepada penduduk desa, “apakah kerudung yang hanya berharga lima sen dapat
menjadi paspor untuk masuk surga?”. Media semacam Islam Bergerak, pada 10 Mei 1917, memihak pada seorang siswi
berusia 17 tahun, yang tidak setuju dengan praktek di Yogyakarta untuk memakai
jilbab, atas alasan untuk melindungi kebaikan seseorang perempuan, dengan
pertimbangan bahwa Yogyakarta bukanlah Arabia dan mengikuti Islam bukan berarti
tunduk pada aturan Arab. Pemikiran ini salah, karena pemakaian kerudung bukan
peniruan atas bangsa Arab, lagipula di Arabia tidak ada perempuan yang memakai
jenis kerudung seperti dipakai di Yogyakarta.[4] Masih terlalu banyak
persoalan yang dapat diceritakan sebagai fenomena jilbab di Indonesia, sebutlah
dukungan para ulama di Bali dan masyarakat yang menyerukan persatuan umat untuk
mendukung gerakan Tim Advokasi memperjuangkan hak pelajar Muslimah menggunakan
jilbab di Pulau Dewata, gerakan yang muncul atas adanya larangan jilbab di
Sekolah.[5] Kasus larangan berjilbab
ini mencuat ke permukaan publik, setelah seorang pelajar SMA, bernama Anita
Whardani melaporkan SMAN 2 Denpasar dibantu oleh lembaga advokasi dan bantuan
hukum, karena disuruh pindah sekolah setelah berniat memakai jilbab. Sekolah
ini tidak secara tegas menyatakan larangan bagi para siswi yang beragama Islam
mengenakan jilbab di sekolah, memang terdapat peraturan bagi seluruh siswa agar
memakai pakaian seragam yang telah ditetapkan, seperti soal warna atasan dan
bawahannya.[6]
Apakah niat Anita Whardani untuk berjilbab ini
muncul dan menjadi bagian atas fenomena hijab yang sedang melanda dunia?
Ataukah murni sebagai kesadaran sebagai seorang muslimah yang taat?
Masing-masing memiliki argumentasi mendasar, hanya saja larangan ini menjadi
menarik untuk dibicarakan, karena menjadi sorotan publik dan diperkuat lagi
beritanya oleh berbagai media, perlu disadari bahwa hal ini beriringan dengan
fenomena hijab yang turut melanda Indonesia. Fenomena hijab semakin menarik
dibicarakan, pada saat berjilbab tidak saja penanda suatu agama, tetapi lebih pada
persoalan tren. Menjadi suatu fenomena, ketika berjilbab tidak lagi dapat
memenuhi syarat-syarat mutlak yang menjadi dasar pijakan sebenarnya. Jilbab
yang transparan, jilbab punuk unta, berjilbab
tetapi pakaian ketat, berjilbab tetapi sebagian aurat terbuka, sehingga hijab
ini seringkali menjadi salah kaprah dan bertukan peran dengan tren pakaian.
[1]
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/19/sutarman-membolehkan-polwan-pakai-hijab,
dan
http://www.hidayatullah.com/read/2013/11/19/7382/kapolri-izinkan-polwan-gunakan-hijab.html,
diakses pada tanggal 20 Januari 2014, pukul 11.21 WIB
[2] Selebriti keluaran acara X-Factor
Indonesia.
[3] Cek:
http://kr.co.id/read/198335/jilbab-fatin-jadi-tren-busana-muslim.kr, juga di
http://www.merdeka.com/peristiwa/jilbab-fatin-geser-tren-syahrini-dan-zaskia-mecca.html,
diakses pada tanggal 15 Januari 2014, pukul 12.44 WIB.
[4] Kees Van Dijk, “Sarung, Jubah, dan
Celana: Penampilan Sebagai Sarana Pembeda dan Diskriminasi”, dalam Henk Schulte
Nordholt (ed), Outward Appearances:
Trend, Identitas, dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit LKIS, 2005), 96.
[5]
http://www.hidayatullah.com/read/2014/01/11/14705/mui-bali-dukungan-gerakan-hak-pelajar-muslim-berjilbab.html,
diakses pada tanggal 16 Januari 2014, pukul 09.39 WIB.
[6]
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/01/06/myz8y6-larangan-jilbab-sman-2-denpasar-berlindung-dengan-aturan-sekolah,
diakses pada tanggal 16 Januari 2014, pukul 09.53 WIB.
Komentar
Posting Komentar