Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com
Budi pekerti seharusnya dipelajari oleh masyarakat sosial atau peserta didik dengan cara-cara yang menyenangkan, dimengerti, tetapi dapat mencapai hasil secara maksimal. Menyenangkan pada saat terjadi interaksi dan kontak psikologis dengan baik, karena pendidikan budi pekerti adalah salah satu fondasi mendasar untuk menciptakan masyarakat yang bertanggung jawab. Pada khazanah warisan tradisional, terdapat sumber-sumber sastra dan kebudayaan yang dapat dijadikan sebagai pedoman pembelajaran budi pekerti, salah satunya adalah bersumber pada ungkapan-ungkapan tradisional.
Hampir setiap daerah dan suku bangsa memiliki ungkapan-ungkapan tradisional, dibuat tidak hanya menjadi sebuah tutur lisan yang indah, tetapi secara mendalam memiliki makna filosofis, serta memberikan nasihat dan pandangan hidup bagi masyarakatnya. Ungkapan tradisional muncul atas analisis-analisis sederhana terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang hadir pada kehidupan sosial bermasyarakat. Kalimat-kalimat diungkapkan menjadi sebuah lirik pantun, tembang, peribahasa, pepatah, ataupun dalam bentuk syair, dimaksudkan sebagai motivator, penasihat, serta menjadi pengkritik atas fenomena-fenomena sosial masyarakat. Artikel ini, membahas beberapa ungkapan tradisional berasal dari Sumatera Selatan, yang dimaksudkan dan terkait pada pembelajaran budi pekerti.
Ungkapan tradisional sangat mungkin dimiliki oleh setiap suku bangsa, dengan beraneka ragam jenis bahasa dan makna yang terkait didalamnya. Ungkapan tradisional ini seringkali berwujud bahasa lisan, walaupun ada juga yang terdokumentasi dengan baik. Sebagai bahasa verbal atau lisan dengan nuansa tradisional yang tinggi, perlu sekali dilestarikan dalam setiap ranah kehidupan sosial. Ungkapan tradisional dalam bentuk peribahasa, pepatah, atau istilah-istilah lain, seringkali digunakan sebagai pengajaran nilai-nilai sosial, kebudayaan, ekonomi, persoalan religiusitas, pandangan dan cara hidup, kepemimpinan, masalah budi pekerti, kesopanan, termasuk didalamnya adalah persoalan politik. Beberapa nilai penting yang seringkali diajarkan dalam ungkapan tradisional ini adalah permasalahan sikap rendah hati, sopan santun, tidak sombong, pantang menyerah, sikap saling menghargai, musyawarah untuk mufakat, bertanggung jawab, mengajarkan sikap bekerja sama dan gotong royong. Alat utama yang digunakan untuk menyampaikan ungkapan-ungkapan tradisional ini adalah bahasa, baik secara lisan ataupun tulisan.
Bahasa, disebutkan oleh Marcell Danesi, memiliki kapasitas yang lebih dari kapasitas lainnya, untuk membedakan umat manusia dengan spesies lainnya. (2010:133). Bahasa adalah sebuah kode mental, merupakan sistem tanda yang biasanya dihantarkan sebagai ujaran vokal, dapat diekspresikan melalui mode fisis lainnya (piktografi, isyarat). (Marcell Danesi, 2010:138). Bahasa merupakan alat komunikasi manusia, berupa percakapan, melakukan interaksi pada jalinan hubungan pada kehidupan masyarakat sosial. Dalam catatan republika.co.id yang mengutip dari SIL International’s Ethnologue, terdapat bermacam jenis bahasa-bahasa yang ada di dunia, paling sedikit terdapat 6.900 jenis bahasa, dan bahasa Mandarin menempati urutan teratas dipakai dan digunakan oleh penutur asli.
Tentunya, setiap daerah di dunia ataupun daerah-daerah di Indonesia, memiliki karakter dan kekhasan bahasa, yang sering dikenal dengan bahasa Ibu. Berdasarkan sumber kompas.com, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mencatat sedikitnya ada 442 bahasa yang dimiliki Indonesia, terungkap dalam Kongres Bahasa ke-9 pada tahun 2008. Pada tahun 2012, penelitian berlanjut dengan mengambil sampel di 70 lokasi di wilayah Maluku dan Papua. Hasil dari penelitian itu, jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Pada melayuonline.com menyebutkan jumlah bahasa daerah di Indonesia adalah 746 jenis bahasa. Di Sumatera Selatan terdiri atas bermacam-macam bahasa daerah, belum ditemukan jumlah pasti dalam kajian ilmiah, beberapa penelusuran menyebut jumlah 385 jenis bahasa. Atau minimal terdapat 12 jenis bahasa yang mengacu pada jumlah kabupaten di Sumatera Selatan, ditambahkan dengan bahasa Palembang. Dapat dibayangkan berapa jumlah ungkapan tradisional yang ada di Sumatera Selatan, jika mengacu minimal 13 jenis bahasa daerah.
Artikel ini akan membatasi ruang kajian pada ungkapan tradisional Kotamadya Palembang, dilakukan atas dasar memaksimalkan data penelitian. Keterbatasan lain adalah dalam menganalisis ungkapan tradisional sebagai kajian utama artikel, karena tidak semua ungkapan tradisional Kotamadya Palembang dibahas, melainkan analisis atas sepuluh ungkapan tradisional.
KAJIAN TEORETIK
Pendekatan pragmatik merupakan suatu upaya kritik sastra dengan memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Menurut beberapa ahli, mendefinisikan pendekatan pragmatik sebagai berikut. Menurut Andries “Hans” Teeuw (1994), teori pendekatan pragmatik merupakan salah satu bagian ilmu sastra dengan kajian pragmatik sastra yang berfokus melalui dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra. Diasumsikan pembaca sebagai orang yang berhak menganalisis dan menginterpretasi karya sastra.
Felix Vodicka (Polandia), pendekatan pragmatik merupakan bagian pendekatan dengan pembacaan pada benda-benda mati semacam artefak, sehingga para pembaca atau pengamatlah yang menjadikan karya sastra sebagai teks-teks hidup dalam pandangan orang lain.
Menurut Abram (1958: 14-21) pendekatan pragmatik merupakan pendekatan denga perhatian utama terhadap peran-peran aktif dari pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya adalah teori resepsi.
Pendekatan strukturalisme yang digunakan adalah teori strukturalisme Claude Levi-Strauss. Paradigma struktural lebih banyak diilhami oleh linguistik, selain itu juga memiliki sebuah epistemologi baru dalam ilmu sosial-budaya dan berbeda dengan apa yang dipahami oleh pakar sosial budaya di Indonesia. Levi-Strauss memandang sepakat bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain, bahwa bahasa mendahului kebudayaan, karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakatnya. Bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan itu sendiri (Ahimsa-Putra, 2001: 3, 4, 24-25). Pandangan Levi-Strauss ini mempertegas peran bahasa sebagai pembaca kebudayaan manusia, termasuk kebudayaan yang bersumber pada ungkapan tradisional di Sumatera Selatan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan buku Ungkapan Tradisional yang Berkaitan dengan Sila-sila dalam Pancasila Daerah Sumatera Selatan, di analisis menggunakan pendekatan pragmatik dan strukturalisme. Ungkapan tradisional tersebut, sebagai berikut.
1. Besak kepala dak kateek agook, besar kepala tiada ada gunanya.
Ungkapan ini dapat diinterpretasikan, bahwa jangan berpura-pura pintar, bijaksana, atau pandai, padahal belum atau tidak mengerti apa persoalan yang sedang dibicarakan. Selain itu, ungkapan ini dapat pula dimaknai sebagai pembelajaran budi pekerti, untuk tidak mencampuri urusan orang lain, sebelum diminta oleh yang bersangkutan. Pembelajaran budi pekerti lainnya adalah bagaimana seseorang dapat mendengarkan nasihat orang pandai, orang yang berpengalaman, seorang anak hendaknya mendengarkan setiap nasihat orang tuanya, seorang anak didik juga mau belajar dan memperhatikan nasihat guru-gurunya dalam mencapai kebaikan.
Pada interpretasi lain, ungkapan ini berkenaan dan mengajarkan untuk tidak sombong atas kepandaian yang dimiliki, atau janganlah merasa pandai jika memang tidak memiliki kemampuan. Seperti pepatah nasional, air beriak tanda tak dalam, orang yang banyak omongnya biasanya tidak pandai atau tidak berpengalaman. Ungkapan ini dapat dikaitkan dengan Pancasila Sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, dalam butir “menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban”.
2. Berook kependekan tali, beruk (sebangsa monyet) yang kependekan tali pengikatnya.
Ungkapan ini mirip dengan pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, atau lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Ajaran yang diisyaratkan oleh ungkapan tersebut menganjurkan orang untuk dapat menyesuaikan diri dimanapun mereka berada, mampu beradaptasi dengan baik pada daerah tempat tinggal ataupun tempat lain, menghormati adat istiadat dan budaya tradisi yang berlaku, serta diharapkan memiliki pergaulan sosial yang tinggi. Apabila tidak mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan baik, diibaratkan seperti seekor hewan yang tidak mampu bersosialisasi dengan baik kepada masyarakatnya, tampak tidak berpengalaman, dan bodoh dalam bermasyarakat. Ungkapan ini berkaitan dengan sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab, budi pekerti yang diharapkan adalah bagaimana seseorang dapat menjunjung tinggi persamaan derajat dan tidak semena-mena kepada orang lain.
3. Booloo sebatang idak nembolke raket, bambu sebatang tidak mungkin menimbulkan rakit.
Ungkapan tersebut mengajarkan seseorang untuk menjaga persatuan dan kesatuan, kebersamaan, dan semangat gotong royong. Untuk menyelesaikan persoalan yang besar, tidak dapat dilakukan secara sendiri, dengan semangat kebersamaan persoalan ini dapat diselesaikan. Demikian pula untuk menjaga perdamaian dan kedamaian pada satu daerah atau negara, diperlukan pihak-pihak anggota masyarakat yang saling mendukung satu dengan lainnya, sehingga apa yang diharapkan dapat tercapai.
Ungkapan tradisional ini hampir sama artinya dengan pepatah berat sama dipikul ringan sama dijinjing, yang mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan pentingnya gotong royong dalam masyarakat. Serupa dengan pepatah bekerja bahu membahu, adalah melatih moral untuk saling bekerjasama untuk mencapai keberhasilan. Nilai-nilai semacam ini semakin sulit untuk didapatkan, egoisme masyarakat perkotaan, arus kuat urbanisasi, serta kecanggihan teknologi, merupakan beberapa faktor penyebab kurangnya kerjasama pada masyarakat sosial. Sama seperti lidi, tidak akan mampu membersihkan sampah, tetapi ketika lidi-lidi ini menjadi satu ikat sapu, maka manfaatnya dapat terlihat dalam fungsi-fungsi tertentu.
4. Kepalang mandi di Ogan, kepalang mau mandi, mandilah di Sungai Ogan.
Makna yang terkandung adalah bagaimana seseorang dituntut untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau kegiatan secara maksimal dan totalitas. Setiap pekerjaan harus dilakukan sampai dengan selesai. Peribahasa yang sepadan dengan ungkapan ini adalah berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas. Pembelajaran budi pekerti yang didapatkan adalah bagaimana seseorang dituntut untuk serius dan bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh orang lain, perintah atasan, atau kegiatan-kegiatan sosial lain, sehingga didapatkan hasil yang memuaskan. Ungkapan ini berkaitan dengan sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam butir pengembangan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan, serta kegotongroyongan.
5. Kerootoong bobos, keruntung (nama sejenis wadah, biasanya terbuat dari bambu) bobos (bocor, atau rusak pada bagian dasar wadah).
Makna yang menasihati seseorang untuk tidak terlalu rakus, makan seperlunya, sesuai dengan kemampuan perut masing-masing, dan mengajarkan untuk tidak bersikap berlebih-lebihan. Peribahasa lain yang serupa adalah terlalu aru berpelanting, kurang aru berpelanting. Pembelajaran budi pekerti yang dapat diinterpretasikan adalah untuk menjaga sikap, tidak saja dalam makan, tetapi juga dalam hal lain, memenuhi keinginan sesuai dengan kebutuhan, tidak bergaya hidup mewah, serta dituntut untuk mampu mengendalikan nafsu. Pada akhirnya, jika rakus ini tidak dikendalikan, akan mengambil dan mengabaikan hak-hak orang lain.
6. Kemaroo setahon ilang oleh ujan sepagi, kemarau setahun hilang oleh hujan sepagi (satu hari/pagi).
Ungkapan ini menyarankan orang untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku, karena kesalahan sedikit dapat menghapus semua kebaikan yang telah lama dilakukan. Ibarat karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga, keburukan kecil yang mungkin tidak disengaja, akan merusakkan nama dan perbuatan baik seseorang. Ungkapan ini mengajarkan seseorang untuk selalu menjaga tingkah laku pada kehidupan bermasyarakat, menghindari perbuatan yang merugikan orang lain, dan secara sadar bersosial dengan baik kepada masyarakat. Selain memang diperlukan untuk melakukan tindakan baik secara terus menerus, sebagai bagian hidup bermasyarakat dan bernegara.
7. Seluang jeroo booloo, seluang (nama ikan) di dalam bambu.
Makna yang menasihati seseorang untuk bekerja keras, tidak malas, mau berusaha, untuk menghadapi tantangan dan perjuangan, serta menghidari sikap memanjakan diri sendiri. Ungkapan ini mengajarkan seseorang untuk bekerja keras tanpa menyerah untuk mencapai hasrat atau cita-cita tertentu. Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, peribahasa yang menunjukkan bahwa setiap manusia harus berjuang keras dan tidaklah mudah untuk mencapai cita-citanya. Akan selalu ada sesuatu tantangan dan hambatan sebagai sesuatu proses untuk menjadi kepribadian yang lebih baik lagi.
8. Tuo di rantoo, tua di rantau.
Bersikaplah untuk senantiasa menghargai waktu yang ada, jika tidak mau terbuang dengan percuma. Ungkapan tersebut mengajarkan orang untuk tidak hidup dengan sia-sia dan mau mempergunakan pengalaman, ilmu pengetahuan, serta kepandaian untuk membantu dan menolong orang lain. Dengan demikian, seseorang tidak hanya menghabiskan usia muda dirantau atau didaerah lain dengan percuma, melainkan mampu mendapatkan ilmu, pengalaman yang berguna, dan kemudian dibagikan/diajarkan pengalamannya kepada masyarakat tempat kelahiran yang membutuhkan.
9. Telok diujung waton, telur di ujung kuncup daun pisang.
Ungkapan yang bermakna suatu ajaran bagi seseorang untuk membiasakan menolong dan membantu sesamanya, tanpa pilih kasih. Pembelajaran yang dapat diambil dari ungkapan ini adalah bagaimana seseorang diajarkan untuk selalu berbuat baik kepada orang-orang yang membutuhkan, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Selalu berbuat baik tanpa pamrih.
10. Takoot teeteek laju tumpah, takut jatuh terus tumpah.
Mengajarkan untuk tidak terlalu pelit dan kikir kepada orang lain, sehingga dapat merusak hubungan kekerabatan atau pertemanan yang telah terbina dalam waktu lama. Ungkapan ini mengajarkan seseorang untuk menjaga antara hak dan kewajiban. Selain itu, ungkapan sederhana ini menunjukkan orang harus berkorban untuk mendapatkan hasil yang maksimal, setiap usaha diperlukan modal dan perjuangan, untuk mencapai suatu keberhasilan jangan pernah takut untuk mengeluarkan biaya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendekatan pragmatik dan strukturalisme berfungsi menguraikan dan menganalisis ungkapan tradisional, menurut kajian dan interpretasi penulis. Kebebasan interpretasi akan menghasilkan makna yang berbeda, dan mungkin tidak akan pernah sama dari sumber-sumber aslinya. Hak mutlak sangat ditentukan oleh pembaca, yang sesuai pula dengan latar belakang keilmuan penulis.
Pada dasarnya setiap ungkapan tradisional muncul atas kejadian dan peristiwa yang dialami langsung oleh masyarakat. Ungkapan, peribahasa, dan pepatah, sebagai bagian pengayaan materi pembelajaran karya-karya sastra lisan dan tertulis, yang menyangkut banyak persoalan, seperti: nasihat dan anjuran, kritik sosial dan sindiran, larangan, pedoman kehidupan, serta persoalan keagamaan. Ungkapan tradisional, sebagai aset dan kekayaan budaya bangsa, seharusnya tetap mendapat tempat pada pendidikan formal dan nonformal, diajarkan tidak hanya sebagai warisan leluhur, tetapi secara mendalam memang merupakan kebutuhan pembelajaran budi pekerti bagi generasi penerus.
Perdebatan perlu atau tidaknya bahasa daerah diajarkan pada bangku sekolah, seharusnya tidak pernah terjadi. Perdebatan pada polemik bahasa daerah di kurikulum sekolah, justru bukan berfungsi mengkritisi sumber pembelajaran kedaerahan, melainkan akan menambah kebingungan para peserta didik, mengenai sumber-sumber pembelajaran tradisi. Ibarat pepatah seperti kacang lupa kulitnya, dikhawatirkan generasi penerus justru lebih faham dan mengerti budaya asing, daripada budaya asli dimana mereka dibesarkan. Gejala semacam ini sudah tampak, dimana anak-anak sekolah dasar lebih hapal dan mengerti lagu pop, daripada lagu daerah, mengidolakan tokoh animasi kartun barat, daripada harus mengenal karakter pewayangan Indonesia, ataupun tokoh-tokoh lokal lainnya.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, setiap kelebihan selalu diikuti dengan beberapa kekurangan. Artikel ini diharapkan mampu memberikan kesadaran, betapa pentingnya selalu berkaca dan melihat sumber-sumber tradisional di Indonesia. Mendayagunakan secara maksimal sumber-sumber lokal bukan berarti menutup mata atas informasi lain, tetapi bagaimana sumber pembelajaran dari sastra dan kebudayaan tradisi tereksplorasi secara maksimal, diajarkan dengan baik, benar, dan mampu diterima secara baik, serta menyenangkan oleh orang lain. Dengan demikian, diharapkan kajian dan pembelajaran atas ungkapan tradisional, baik berkenaan dengan etika, moral, ataupun budi pekerti, dapat digali lebih mendalam pada tradisi masing-masing daerah. Jas merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Soekarno, bermakna betapa penting orang-orang tetap belajar dan mendalami masa lalu, sebagai kajian penting masa kini.
DAFTAR PUSTAKA
“Makna Ungkapan Tradisional dalam Bahasa Tidung Di Kelurahan Mamburungan, Kecamatan Tarakan Timur”, dalam http://inspirasi-wahanapendidikan.blogspot.com/2011/11/makna-ungkapan-tradisional-dalam-bahasa.html.
http://melayuonline.com/ind/news/read/11414, diakses pada 05 Juni 2013, Pukul 09.31 WIB.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2004.
Rahmanto, B. Mengkaji Ulang Pembelajaran Sastra. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 1998.
Yunus, Ahmad dan Tatiek Kartika Sari, (Ed). Ungkapan Tradisional yang Berkaitan dengan Sila-sila dalam Pancasila Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1985.
http://newshendri.blogspot.com/2013/05/kritik-sastra-pragmatik.html, diakses pada 05 Juni 2013, Pukul 14.55 WIB.
http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/12/11/14/mdgtm0-bahasa-apa-yang-paling-banyak-dipakai-di-dunia, diakses pada 28 Mei 2013, Pukul 16.44 WIB.
Komentar
Posting Komentar