Langsung ke konten utama

Tentang Naskah Tua

Deni S. Jusmani, denijusmani@gmail.com


Naskah-naskah masa lampau (tidak saja harus menyebut naskah-naskah kuno dalam arti yang sebenarnya) memiliki sumber-sumber informasi yang penting, tidak saja sebagai pedoman dan tolak ukur, tetapi lebih mendalam sebagai catatan peristiwa tentang sesuatu hal. Naskah ini tidak saja berwujud lembaran-lembaran kertas, atau daun lontar, tidak hanya berupa tulisan-tulisan kuno, aksara kuno, tetapi dapat pula berwujud artefak yang berbentuk patung, bangunan, tempat, atau bahkan dapat berbentuk benda-benda lain, yang secara ilmu pengetahuan tertentu bernilai sejarah, yang sering dikenal sebagai Benda Cagar Budaya. Setiap peninggalan bersejarah tentunya dibuat dengan sadar, untuk merekam peristiwa-peristiwa yang dianggap penting untuk didokumentasikan dan diceritakan kembali dalam bentuk-bentuk tertentu (naskah, artefak, atau monumen), dan ditujukan untuk orang lain, baik sezaman, khususnya untuk generasi selanjutnya. ..... 

Adanya perhatian negara terhadap perlindungan benda-benda cagar budaya dapat dilihat dengan keberadaan alat-alat hukum, baik adanya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3, dibuatkan undang-undang perlindungan, serta dibebankan instansi yang terkait sebagai upaya perlindungan. Akan tetapi, sepertinya perlindungan ini belum berlaku secara maksimal, masih banyak ditemukan kasus-kasus pelanggaran dan perusakan benda-benda cagar budaya. Jika berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya. Pada Pasal 56, setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya, sedangkan Pasal 57, setiap orang berhak melakukan Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan.

Pada masyarakat Jawa mengenal Serat Centhini sebagai benda warisan bersejarah dan dipercaya sebagai salah satu kitab terlengkap untuk ajaran-ajaran kebudayaan Jawa. Kitab ini juga dikenal dengan nama Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat ini menghimpun beberapa macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, untuk menjaga keberlangsungan dan tetap lestari sepanjang waktu. Isi Serat Centhini antara lain tentang ilmu sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur rumah Jawa, pengetahuan alam, agama, falsafah, tasawuf, mistik, ramalan, sulapan, ilmu kebal tubuh, perlambang, adat-istiadat, tata cara budaya Jawa, etika Jawa, ilmu pengetahuan (ilmu manusia, flora, fauna, obat-obatan tradisional, kuliner), seni (musik karawitan, seni suara, tari, wayang, pedalangan), juga ada ilmu sexology, atau ilmu yang terkait saat suami isteri memadu kasih.[1] Selain Serat Centhini, terdapat Serat Wédhatama (persoalan moral), Serat Kalatidha, dan Serat Wulangreh (beberapa ajaran: mistik, ilmu pengetahuan, agama, maupun moral-budi pekerti luhur) yang merupakan salah satu karya Paku Buwana IV, putra Paku Buwana III. Sayangnya, pemahaman pada beberapa serat-serat sebagai pedoman hidup seringkali tidak dapat diaplikasikan secara baik dalam kehidupan pribadi, maupun kelompok. Mulyoto melihat carut-marut yang terjadi pada kebudayaan Jawa (termasuk didalamnya cara membaca dan memahami serat-serat) adalah disebabkan sebagai imbas atas terjadinya globalisasi dunia. Perkembangan dan globalisasi, telah menyeret pola kehidupan manusia menjadi lebih bersifat realistik, pragmatik, materialistik, hedonik, dan liberal kapitalistik, sehingga orang menjadi tidak terkendali dan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih hasrat-hasratnya.[2]

Besar kemungkinan, bahwa apa yang disebutkan oleh Mulyoto sebagai globalisasi, berkaitan erat dalam banyak persoalan, teror ideologi dan budaya dari luar, serangan kemajuan teknologi dan infrastrukturnya, sangat berpengaruh pada pribadi-pribadi yang terkorelasi dengan kehidupan sosial. Teknologi, sebagai bagian dari perkembangan dan dinamika kebudayaan manusia, turut serta menjaga, sekaligus menghancurkan sendi-sendi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk dalam peran memahami kebudayaan Jawa itu sendiri. Tentunya, ada hubungan dan benang merah yang jelas antara pengaruh teknologi terhadap kemauan anak-anak untuk belajar dan memahami struktur-struktur kebudayaan Jawa. Selain itu, dehumanisasi manusia sebagai imbas kemajuan teknologi, mulai dapat dirasakan. Nilai dan falsafah yang terkandung pada prinsip-prinsip seperti: mangan ra mangan yen kumpul, alon-alon asal kelakon, ana dina ana upa, mengandung makna filosofik yang mendalam. Mangan ra mangan yen kumpul, cermin sosialitas orang Jawa yang tinggi. Berbeda dengan kumpul ra kumpul yen mangan, yang mencerminkan sifat materialis individualistis yang tinggi.[3] Ajaran ini, salah satunya memberikan penegasan tentang kebersamaan dan pentingnya menjaga tali silaturahmi bagi setiap manusia. Oleh karena itu, apa yang diajarkan oleh dan melalui serat-serat Jawa semacam Serat Centhini, semakin sulit dipahami, ketika kemampuan dan kemauan membaca semakin dijauhkan oleh globalisasi teknologi.

Kepentingan bisnis terkadang lebih diutamakan oleh pemerintah ketimbang kepenting sejarah, tengok saja beberapa kejadian yang boleh dibilang tidak beradab; mengedepankan persoalan keuntungan ekonomi, kemudian mengabaikan moral dan nilai-nilai kesejarahan yang melekat pada artefak-artefak kuno. Atau lemahnya pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap benda-benda bersejarah (cagar budaya), menunjukkan keterbatasan ruang sosial dan penyebaran sumber-sumber informasi penting. Misalnya pada peristiwa pengrusakan makam Malombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape atau lebih populer dengan nama Sultan Hasanuddin, pada hari Kamis, 25 Mei 2012. Peristiwa ini menunjukkan lemahnya kinerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab atas perawatan dan pelestarian benda-benda purbakala, sekaligus kurangnya kesadaran masyarakat sosial, tentang pentingnya aset-aset benda bersejarah sebagai sumber ilmu pengetahuan.[4]

Kejadian yang mirip, seperti diberitakan oleh Solo Pos, bahwa sebanyak 40% bangunan kuno yang diduga bangunan cagar budaya di Kampung Batik Laweyan Kelurahan Laweyan, berganti rupa menjadi bangunan baru bergaya modern.[5] Dalam media yang sama, sempat terjadi kontroversi antara Walikota dan Gubernur Jawa Tengah dalam persoalan pembangunan Mall dengan menggunakan bangunan warisan zaman Belanda, yang difungsikan sebagai pabrik es di Saripetojo. Padahal, Gutomo sebagai ketua bagian Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Jawa Tengah, menjelaskan pihaknya sudah memberikan surat rekomendasi kepada Pemerintah Kota Solo yang menyatakan, bahwa bangunan Saripetojo tersebut masuk dalam daftar Benda Cagar Budaya dan sedang diajukan penetapannya ke pemerintah pusat. Menurut Gutomo, Pemkot Solo memiliki kewenangan penuh mengambil tindakan tegas untuk menghentikan proses pembongkaran bangunan di Saripetojo tersebut.[6] Pembangunan Mall itu penting, tentunya dengan banyak pertimbangan, tidak saja kepentingan ekonomi, tetapi perlu diperhatikan pula dari faktor lain, seperti: tata kota, demografi, kenyamanan, keamanan, dan ditinjau dari aspek sosiologi. Jika Gubernur Jawa Tengah sempat ngotot membangun Mall untuk menggantikan bangunan Cagar Budaya, tentunya punya pertimbangan dan kepentingan tersendiri. Tentunya, kapasitas Gubernur Jawa Tengah memang perlu dipertanyakan dalam persoalan warisan tradisi, tidak terkecuali tentang ucapannya yang menyatakan bahwa kesenian Jathilan adalan kesenian terjelek didunia.[7] Kesenian Jathilan, tidak saja tetap mempertahankan ketradisionalannya, tetapi merupakan bukti dan warisan tradisi yang bernilai sejarah. Ucapan ini sangat disayangkan, ketika diucapkan oleh pemimpin masyarakat Jawa Tengah dan akibatnya menuai reaksi keras dari beberapa komentator berita. Jangankan untuk diupayakan perlindungan hukum hak cipta dan paten pada kesenian Jathilan, penghinaan kesenian tradisi oleh seorang gubernur pada peristiwa tersebut, sekaligus menunjukkan sikap pribadi yang tidak peduli terhadap segala macam kepentingan warisan-warisan tradisi.

Tentunya, masih ingat juga adanya kasus pemalsuan arca-arca di Museum Radya Pustaka di Solo (MRPS) Jawa Tengah. Seperti diberitakan, di antara 249 koleksi beragam kriya perunggu di MRPS, 85 buah berbentuk arca. 52 arca diantaranya dinyatakan dan diduga palsu oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, setelah reinventarisasi museum Pemalsuan ini adalah semata-mata kepentingan gengsi dan strata sosial, yang bermula dari persoalan faham-faham materialis dan kebendaan. Sekaligus menunjukkan betapa kepentingan pribadi, yang terikat pada komunitas tertentu lebih dominan, daripada kesadaran untuk mempertahankan warisan budaya masa lampau. Pertanyaannya adalah apakah ada motif tertentu (diluar ekonomi) atas pemalsuan tersebut? Apakah pemalsuan arca ini melibatkan sekian banyak orang-orang penting (diluar struktur organisasi museum)? Perlu dipertanyakan pula seberapa besar pengaruh dan kinerja pihak pemerintah dalam melindungi aset-aset budaya, tidak saja dengan sistem undang-undang, tetapi secara mendalam mengawasi keberadaan benda-benda purbakala tersebut.

Seperti ditulis oleh National Geographic Edisi Indonesia,[8] bahwa negara Indonesia melalui aparatur negara yang bernama pemerintah, dinilai masih kurang memberikan perhatian terhadap perawatan dan konservasi benda-benda cagar budaya, termasuk perawatan naskah-naskah kuno. Belajar dari negara luar Indonesia, naskah-naskah kuno disimpan dengan maksimal, tertata rapi dengan ruangan dan suhu yang terkontrol, bahkan ada yang diawetkan. Di Indonesia, upaya konservasi naskah kuno belum semuanya dilakukan di masing-masing museum atau istana/keraton, yang diklaim sebagai pemilik tetap. Masih dari sumber yang sama, naskah-naskah kuno kerajaan Nusantara banyak tersebar di luar negeri atau sekitar 60 negara. Akan tetapi, justru di luar negeri, naskah-naskah kuno banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, untuk dikaji ulang atau dipelajari sejarahnya.


[1] http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/02/nasehat-serat-centhini-saat-suami-isteri-memadu-kasih/
[2] Mulyoto, “Falsafah Kalatidha” Cermin Kearifan Masyarakat Orang Jawa Dalam Menghadapi Perkembangan Dan Globalisasi Kehidupan (Suatu Analisis Reflektif Fenomenologis), diambil dari: http://ki-demang.com/kbj5/index.php?option=com_content&view=article&id=1233&Itemid=1048, pada hari Sabtu, 08 September 2012, Pukul, 17:49 WIB.
[3] Mulyoto, “Falsafah Kalatidha” Cermin Kearifan Masyarakat Orang Jawa Dalam Menghadapi Perkembangan Dan Globalisasi Kehidupan (Suatu Analisis Reflektif Fenomenologis).
[4] http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/27/pengrusakan-makam-sultan-hasanuddin-dan-lemahnya-kinerja-bp3/
[5] http://www.solopos.com/2012/berita-pilihan/40-bangunan-kuno-laweyan-ganti-rupa-321415
[6] http://forum.kompas.com/nasional/36212-gubernur-bibit-waluyo-ngotot-bangun-mall-di-solo.html
[7] http://www.tribunnews.com/2012/09/10/gubernur-jateng-jatilan-kesenian-terjelek-sedunia#comment/articles/913211/5
[8] http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/naskah-kuno-nusantara-dibedah-dalam-simposium-internasional

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apresiasi dan Interpretasi Karya Seni

APRESIASI Feldman (1967) dan Smith (1967) mengelompokkan aktivitas apresiasi seni berdasarkan kepada proses persepsi dan intelektual melalui empat tahap, yaitu:  a. Menggambarkan  Mengamati hasil karya seni dan menggambarkan sifat-sifat yang terlihat, seperti: warna, garis, bentuk, rupa, tekstur, bidang, ruang, jalinan dan elemen-elemen gubahan yang termasuk sebagai prinsip dan struktur. Menggambarkan pada ranah lain dapat disebut sebagai mendeskripsikan tentang suatu bentuk atau tema dari sebuah gambar ekspresi. Menggambarkan dapat dilihat sebagai usaha untuk membaca hasil dari aktivitas anak-anak ketika menceritakan sesuatu kepada orang lain melalui karya seni.  b. Menganalisa  Menganalisa hubungan sifat-sifat tampak seperti unsur-unsur seni, prinsip, dan stuktur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: menganalisa kualitas ekspresif, seperti: mood dan suasana; menguraikan gaya suatu karya. Beberapa bagian karya gambar ekspresi...

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK

KARAKTERISTIK KARYA SENI RUPA ANAK A. TIPOLOGI Tipologi merupakan gaya atau corak yang dapat diamati melalui hasil gambar anak. Menurut Herbert Read, gambar anak berdasarkan gayanya dibedakan menjadi 12 macam, yaitu: 1. Organic Berhubungan langsung dengan objek nyata, lebih suka obyek dalam kelompok daripada tersendiri, sudah mengenal proporsi dan hubungan organis yang wajar. Ciri khususnya hanya terdapat satu unsur. 2. Lyrical (Liris) menggambar obyek realistis tetapi tidak bergaris. Obyek yang digambarkan statis dengan warna yang tidak mencolok. 3. Impressionism Mementingkan detail yang dilihat dari obyek. Di dalam gambar ini lebih diutamakan kesan “suasana”. 4. Rhytmical Pattern (Pola Ritmis) Menggambar pengulangan dari satu obyek yang dilihat. Sifatnya bisa organis atau liris dan selalu mengikuti pola umum (realistis). 5. Struktural Form (Bentuk yang bersusun) Objek mengikuti rumus ilmu bangun yang diperkecil menjadi satu rumusan geometris....

KONSEP SENI Bagian Ke-2

Aspek Fisik, Isi, Estetik dan Nilai Seni jika dipandang dari segi bentuk dan dimensinya terdapat karya seni dengan dua dimensi dan tiga dimensi. a. Pada karya dua dimensi, suatu yang nampak datar juga mempunyai kesan-kesan volume, kedalaman dan ruang, namun hanya tipuan pandang semata. Karya seni dua dimensi disebut semi visual, karena diserap oleh indra penglihatan. b. Karya seni tiga dimensi disebut juga karya seni spasial , karena terdapat tiga dimensi yang harus benar-benar diperhatikan. Dalam seni tiga dimensi, pelaku seni melibatkan indra gerak dan raba. Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikai...