Aspek Fisik, Isi, Estetik dan Nilai
Seni jika dipandang dari segi bentuk dan dimensinya terdapat karya seni dengan dua dimensi dan tiga dimensi.
a. Pada karya dua dimensi, suatu yang nampak datar juga mempunyai kesan-kesan volume, kedalaman dan ruang, namun hanya tipuan pandang semata. Karya seni dua dimensi disebut semi visual, karena diserap oleh indra penglihatan.
b. Karya seni tiga dimensi disebut juga karya seni spasial , karena terdapat tiga dimensi yang harus benar-benar diperhatikan. Dalam seni tiga dimensi, pelaku seni melibatkan indra gerak dan raba.
Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikaitkan dengan parameter Birkhoff. Perkembangannya, mainstream dari penelitian estetika lebih melihat keindahan bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau interaksi antara persepsi dan objek. Masalah keindahan ternyata kadang kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.
Persepsi karya seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat berkembang. Baru setelah zaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama yang menonjol, Philibert de l'Orme (sekitar 1510-1570) mempengaruhi perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.
Philibert de l'Orme tidak mempercayai keindahan berdasarkan proporsi-proporsi saja, setelah ia membuktikan melalui pengukuran bahwa Panthenon memiliki kolom kolom Corinthian yang dirancang dengan tiga sistem proporsi yang berbeda (menentang hukum Vitruvian yang mengizinkan hanya satu set proporsi). Ia menyimpulkan bahwa dimensi yang layak untuk kolom bergantung pada seberapa tinggi kolom tersebut, dan posisi kolom itu, apakah di letakan rendah atau tinggi dalam struktur bangunan. Hal ini memberi pengertian bahwa keindahan kolom tidak bergantung pada bentuk aktual dari kolom itu sendiri, melainkan hanya merupakan impresi akhir seseorang ketika melihat kolom tersebut. Hal ini mendorong de l'Orme untuk menambah model model baru daftar model kolom tradisional mengenai keberaturan sebuah rancangan. Pemikiran Philibert de l'Orme selanjutnya dikembangkan oleh rekan senegaranya, Claude Perrault (1613 - 1688) dan diekspresikan secara khusus dalam ulasannya berupa terjemahan ke bahasa Perancis mengenai Vitruvius pada tahun 1673. Perrault menyatakan dalam ulasan tersebut bahwa keindahan tidaklah absolut; melainkan, pengetahuan tentang keindahan diperoleh melalui kebiasaan atau belajar.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani aisthekos, yang dihubungkan dengan persepsi. Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant (1724 - 1804), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya Kritik der Urteilskraft (1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa ‘keindahan’ adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah.
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan. Pada tahun-tahun selanjutnya, kajian Fechner berkembang menjadi cabang penting dari sains, yaitu psikologi persepsi. Contoh penelitian Arsitektur yang dipengaruhi oleh jiwa psikologi persepsi adalah "Arkitekturens uttrycksmedel" oleh Sven Hesselgren (1954). Buku tersebut dipengaruhi oleh contoh J.S. Siréns (Finnish Professor pada arsitekture, 1889-1961) pengajar bentuk : 'resep untuk membuat keindahan tidak dapat selalu ditemukan, akan tetapi dengan menganalisanya, kita dapat menentukan penyebab terjadinya perbedaan impresi, keaslian dan sumbernya, dan kemudian menjadikan Arsitektur lebih mudah, yaitu ketika desainer menjadi lebih sadar terhadap sifat kreasinya dan faktor faktor yang mengarahkan pada hasil'.
J.S. SirÃcns menerangkan bahwa sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar mengenai kontras. Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan, kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat di dalam Desain. Penelitian dalam psikologi persepsi dan estetika dikembangkan secara khusus sebagai ilmu yang dikenal sebagai art psycology. Psikologi persepsi berkembang dari psikologi tradisional dimana manusia dan lingkungan merupakan elemen dasar dan saling mempengaruhi satu sama lain melalui stimuli dan respons. Sekolah psikologi behaviorisme mempertimbangkan apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan "Apa yang terjadi pada kesadaran dan kognisi manusia dalam jangka waktu antara diterimanya stimuli dan memberikan respon ?", karena kandungan dan fungsi dari kesadaran tidak dapat dikaji secara tepat tanpa mencampuri keduanya.
Teoritikus psikologi kognitif memiliki pandangan berbeda;, model hipotesis dari fungsi kesadaran diuraikan dengan sangat detail. Model tipikal disajikan oleh Matti SyvÃ'nen, 1985. Pada awalnya, banyak peneliti yang masih membagi persepsi pada tiga fase yaitu, persepsi - kognisi - intrepretasi dan evaluasi. Hal ini berbeda dengan pandangan umum pada saat ini, bahwa pada satu tahapan terdapat aspek aspek yang berbeda, sehingga garis stimuli-respon-tindakan tidak bersifat linier.
Outline membantu asosiasi agar terjadi proses persepsi. Konsep outline (Jerman;Gestalt) pertama kali disajikan dalam ilmu psikologi oleh Christian von Ehrenfels pada tahun 1890. Ia mengarahkan perhatiannya pada kenyataan bahwa untuk mengerti sebuah komposisi, keseluruhan outline lebih penting daripada bagian. Jika urutan komposisi diubah menjadi susunan baru, semua komposisi akan menjadi sesuatu yang lain tetapi keseluruhan outline dari komposisi tersebut tetap sama. Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan gambaran dalam memorinya.Tanda tanda yang dekat satu sama lain cenderung bergabung dalam pikiran untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk satu kesatuan.
Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi. Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada zaman modern, tekanan justru diletakkan pada objek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi. Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
1. Pemahaman karya sebagai objek estetik.
2. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.
Tuntutan teknik tidak satu-satunya pernyataan dalam berkarya seni. Sering dikatakan bahwa penguasaan teknik atau ketrampilan (skill) adalah tuntutan dasar proses penggarapan ide menjadi karya seni. Ini berarti bahwa dalam menggarap unsur-unsur estetis sebagai langkah lanjut dalam mencipta atau dalam menentukan azas-azas estetik, seniman perlu ditunjang dengan kemampuan teknik atau ketrampilan. Bahkan kemampuan teknik itu sendiri saling berpengaruh dengan azas atau prinsip estetis. Kemampuan estetika adalah kemampuan mencipta nilai-nilai keindahan untuk karya seni sesuai dengan pengalaman artistik seorang seniman. Mencipta keindahan dalam karya seni didasarkan pada peraturan atau kaidah yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam sejarah kesenian peraturan atau kaidah seni terdapat pada setiap bangsa dan pada tiap kurun waktu atau zaman. Seberapa lama suatu kaidah seni dapat bertahan, tidak dapat ditentukan.
Pada pemanfaatan karya seni, melekat pengertian sikap estetik. Sikap ini ada yang melihat sebagai sifat tanpa pamrih, berjalan atau tak mengacu kepada suatu sasaran. Nilai estetik dari dampak yang ditimbulkan oleh karya seni tidaklah serupa dengan nilai guna suatu benda pakai yang tidak menjadi bagian dari nilai dampak benda tersebut. Kondisi yang ada berkaitan dengan seni dapat menimbulkan pandangan dan perbedaan tentang keindahan yang kemudian melahirkan dua teori yaitu :
a. Teori objektif
Menurut teori objektif, estetik adalah kesan yang terdapat pada suatu objek atau karya seni rupa dengan ciri-ciri, sifat, kualitas keindahan yang dihasilkan dari kesatuan unsur seni yang digunakannya.
b. Teori subjektif
Menurut teori subjektif bahwa suatu benda atau karya seni rupa dikatakan indah bila dapat menimbulkan perasaan puas, nikmat, kagum, dan indah menurut perasaan sseorang yang bersifat individual.
Menurut R. S. Stites, karya seni memiliki tiga nilai :
a. Nilai pakai adalah nilai ekonomi; berkaitan dengan mata uang
b. Nilai kisah adalah nilai idiil yang bisa berupa nilai religius, moral, historik
c. Nilai formal adalah nilai khiriah atau design yang merupakan nilai intrinsik pada karya seni itu sebagai nilai seni.
Jika boleh diasumsikan bahwa hanya tema yang dipandang bernilai yang akan ditampilkan oleh penciptanya, tema tersebut dapat dikonotasikan ke dalam sumber nilai. Dengan demikian, maka sejalan dengan pikiran R.S. Stites, kita akan menjumpai tema-tema bisnis fungsi praktis, tema-tema lainnya yang terasosiasi atau terkonotasi ke dalam tema-tema agama, sejarah, moral, di samping tema intrinsik itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar